BROMOCORAH

Kumpulan cerpen (cerita pendek) karya Mochtar Lubis, diterbitkan oleh Sinar Harapan, Jakarta, tahun 1983. Buku cerpan ini memuat 12 judul cerpen: Bromocurah; Abu Terkabar Hangus; Hati yang Hampa; Pahlawan; Uang, Uang, Uang; Hanya Uang; Wiski; Dara; Dukun; Hidup adalah Sebuah Permainan Rolet; Rekanan; Gelas yang Pecah; dan Perburuan.
      Cerpen Bromocorah yang menjadi judul dari kumpulan cerpen ini bercerita tentang suatu pagi (subuh), seorang laki-laki, tanpa membangunkan istrinya, diam-diam meninggalkan rumahnya. Ia menuju tegalan yang rata dengan puncak bukit. Dia mengambil sikap silat menghadap matahari terbit, dan pelahan-lahan menggerakkan anggota tubuhnya. Pada suatu saat, ia melihat gerakan-gerakan sosok hitam yang amat cepat. Setelah peluhnya mengucur, ia mengucapkan doa mohon perlindungan, keselamatan dan kekuatan dari Yang Maha Kuasa. Setelah itu dia berdiri santai.
      Yakin akan kekuatan dirinya, ia melangkah mendaki bukit masuk ke dalam hutan jati. Di tengah hutan itu, ia bergerak hati-hati, seperti tidak mau mengganggu makhluk lain. Pada saat yang sama, matanya melihat sebuah bayangan bergerak, menghilang di balik sebuah pohon. Dia merasa senang lawannya merasa perlu berhati-hati. Dan tiba-tiba sebuah gerak berwarna hitam muncul dari balik pohon, cepat dan keras menuju dirinya, diiringi sebuah teriakan yang tidak terlalu keras, tetapi mengejutkan.
      Namun, dia seorang juru silat yang berpengalaman, anak seorang bromocorah. Cepat ia mengelak serangan. Ia melakukan serangan kembali. Beberapa saat mereka saling menunjukkan keahliannya. Ternyata lawannya adalah seorang anak muda dari desa lain. Ia menyarankan agar lawannya itu tidak mengganggu kampungnya. Akan tetapi, permintaan itu ditolak. mereka kemudian kembali berkelahi. Lawannya kalah. Lawannya heran kenapa ia tidak membunuhnya. Ia mengatakan bahwa lawannya masih muda. Sementara itu, ia teringat anaknya yang masih tidur. Setelah anaknya besar, ia ingin anak tidak mengikuti jejaknya. Ia suruh lawannya pergi.
      Saat kembali ke kampungnya, ia berpapasan dengan orang-orang kampung. Meskipun saling menyapa, ia merasa berada di luar masyarakat kampung. Dia juga bimbang, apakah ia akan mengajarkan anaknya ilmu silat. Bila ia mengajarkan anaknya ilmu silat, pastilah anaknya akan mengikuti jejaknya, seperti ia mengikuti jejak ayyahnya, dan sperti ayahnya mengikuti jejak neneknya, dan seterusnya. 
      Tiba di rumah, anaknya sudah berangkat sekolah, istrinya sudah menyiapkan sarapan. Sore harinya, ia menyampaikan pikirannya kepada istrinya bahwa cara hidup sekarang tidak dapat diteruskan. Sebulan kemudian dia pergi ke kantor lurah, mencatatkan dirinya, istrinya, dan anaknya untuk calon transmigrasi keluar Jawa. Setelah tiga bulan, ia tidak juga mendapat berita dan lurah tidak dapat memberikan penjelasan, sedangkan beberapa kepala keluarga di kampungnya sudah berangkat. Akhirnya ia mengetahui bahwa ia ditolak transmigran, dengan alasan karena dia dikenal sebagai seorang bromocorah. Dia kembali kerumahnya, dan setiap sore mengajar anaknya ilmu silat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

search

About

Seluk Beluk Sastra