RORO MENDUT

      Novel versi sejarah karya Y.B. Mangunwijaja dan Ajib Rosidi ini diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta, tahun 1983 (397 halaman). Novel ini merupakan transformasi dari karya sastra Jawa yang berasal dari peredaran lisan. Pada awalnya karya sastra ini dituturkan oleh Ki Patragune sekitar abad ke-18, kemudian ditulis dalam bentuk tembang pada zaman Kasunanan Surakarta, yang pada saat itu diperintah oleh Paku Buana V, dengan menggunakan huruf Jawa, sekitar tahun 1820-an. Naskah Roro Mendut ini kemudian diwariskan kepada Paku Buana VII. Baru kemudian tahun 1888 Mas Kartasubrata memperbaiki naskah tersebut, yang digunakan sebagai dasar penerbitan Balai Pustaka pada tahun 1921. Proses penurunan karya sastra terus berlangsung hingga zaman modern ini. Naskah Roro Mendut ini pernah diterjemahkan oleh Margosoelaksono. Kemudian ditransformasi kedalam bahasa Indonesia oleh Ajip Rosidi (versi Ajip Rosidi) dan Y.B. Mangunwijaya ini pernah difilmkan dan sebagai cerita bersambung dalam harian kompas.
      Kisah klasik Roro Mebdut tidak dicerita-ulangkan belaka oleh Y.B Mangunwijaya, tetapi dicipta baru dalam bentuk sastra dengan versi khas yang relevan untuk generasi modern sekarang. Tanpa meninggalkan pertanggungjawaban segi historisnya yang dilandaskan pada studi tentang BAbad Tanah Jawi,dokumen-dokumen duta besar,VOC,Rijkloff van Goens,dan data-data sejarah lain. Khususnya kaum wanita akan menemukan banayak hal yang berharga dalam novel ini mengenai filsafat keperawanan,keibuan,jodoh, dan emansipasi wanita. Namun bagi priapun novel ini memberi pintu banyak tentang pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai hidup,kebudayaan nasional,data-data sejarah,dan bagaimana lebih mengenal pasangan hidupnya,sang wanita. Novel ini mengandung filsafat hidu,sekaligus humor penuh hiburan segar.
      Diceritakan dalam novel ini bahwa Roro Mendut adalah anak seorang janda petani yang sederhana. Ia wanita yang sangat mencintai lautan. Bersama pamannya dan seorang pemuda sebayanya, semalam suntuk mereka harus bergulat melawan angin dan gelombang-gelombang. Si Duyung,begitu Roro Mendut dipanggil, selalu pulang dari laut berkayuh dengan gesit. Ia memiliki kecerdasan yang mencerminkan pigur Srikandi khas Bahari.
      Suatu ketika sepasukan serdadu berkuda dengan panji-panjinya datang ke Telukcikal, tempat roro Mendut. Ternyata panji-panji Adipati pragono, adipati wilayah Pathi yang didesas-desuskan mau memberontak melawan raja Mataram. Seorang perwira yang mewakili adipati menyampaikan bahwa Sang Keris Penguasa wilayah Pathi telah berkenan kepada Roro Mendut. Akhirnya Roro Mendut dibawa ke istana Adipati Pragono. Pada waktu itu, setiap gadis akan merasa di surga bila terpilih menjadi selir. Roro Mendut yang sudah terbiasa bebas dan hidup apa adanya memberontak melawan keadaan sehingga ia diserahkan kepada Ni Semongko untuk belajar tata krama kesopanan. Ia juga diberikan seorang dayang cilik yang bernama Gendhuk Duku, dengan harapan sifat keras Roro Mendut dapat disalurkan pada tempatnya. Sementara itu Adipati Pragono sibuk mempertahankan kemerdekaan Pathi melawan Susuhunan Binanthoro (dianggap sebagai dewa). Hanyokro Kusumo, Adipati Pragono akan berhadapan dengan wakil dari Matahari yaitu panglima Wiroguno.
      Dalam peperangan melawan tentara Wiroguno, Pragolo tewas, daerah Pathi dibakar habis dan disirami mantra-mantra kutukan. Kekalahan Pragolo berarti pula pemboyongan para wanita istana ke kerajaan yang sedang jaya, termasuk Roro Mendut dan dayangnya.
      Tumenggung Wiroguno sudah lanjut usia,tetapi termasyur akan kegagalan akan kebudimanannya. Ia pengabdi negara yang berjasa. Ia memiliki banyak selir yang cantik. Ia sangat mencintai semua selirnya. Akan tetapi, Wiroguno akan lebih tertarik dengan wanita yang menentangnya atau menolaknya. Wanita itu adalah Roro Mendut. Wiroguno memohon kepada Susuhunan hendak memiliki Roro Mendut.
      Nyai Ageng sebagai isteri perdana Wiroguno, belum memeriksa siapa saja putri yang diboyong dari Pathi. Namun, dari desas-desus ia telah mengetahui tentang seorang dara bernama Mendut. Nyai Ageng berusaha agar Roro Mendut tidak menjadi wanita perdana. Nyai Ageng dan para selir berusaha mempengaruhi Wiroguno untuk mengendalikan Roro Mendut ke daerah asalnya, sementara Roro Mendut ingin menentukan sendiri jalan hidupnya termasuk memiliki pasangan hidup.
      Mengetahui Mendut menolak menjadi selir Wiroguno, Nyai Ageng bersimpati kepada Mendut. Nyai Ageng ingin menolong Roro Mendut, tetapi juga ingin membantu derajat atau martabat suaminya.
      Penolakan Roro Mendut membuat wiroguno marah. Roro Mendut dihukum dengan membayar pajak tiga real setiap hari. Untuk memenuhi pajak ini Roro Mendut dibantu oleh dayangnya yang menjual puntung-puntung rokok di pasar, sementara itu nyai Ageng dengan tulus memberi bantuan modal kepada Roro Mendut untuk berusaha. Berkat ketabahannya, Roro Mendut mampu membayar pajak atau upeti kepada Wiroguno. Dan hal ini membuat Wiroguno marah dan menambah pajak menjadi sepuluh real perhari.
      Saat berjualan puntung rokok di pasar, Roro Mendut bertemu dengan Pronocitro, putra janda pengusaha kapal dari pekalongan (Nyai Singobarong). Mereka saling tertarik, saling mengasihi, dan menyusun rencana melarikan Mendut dari puri Wiroguno.
      Dengan menyamar, Pronocitro melamar pekerjaan di puri Wiroguno, dan diterima di bagian kandang kuda para puri. Segala akal dan rencana Pronocitro membebaskan Roro Mendut diketahui oleh Nyai Ageng, dan ia diam-diam memberi kesempatan, hingga suatu hari Pronocitro dan Roro Mendut melarikan diri.
      Ketika mereka tertangkap, rakyat menjadi saksi saat mereka membuat perhitungan. Wiroguno masih memberikan kesempatan kepada Roro Mendut untuk memilih. Roro Mendut tegas memilih Pronocitro. Akan tetapi, saat terjadi perkelahian antara Wiroguno Pronocitro, Pronocitro terluka. Untuk melindungi kekasihnya, ketika untuk kedua kali Wiroguno menghujamkan kerisnya, Roro Mendut spontan membela Pronocitro. Tanpa sengaja keris Wiroguno menusuk jantung Mendut yang rebah diatas kekasihnya.  Roro Mendut mati membela kebenaran dan keyakinannya. Seluruh rakyat menjadi saksi,Roro Mendut dan Pronocitro disambut gelombang-gelombang laut dan dihela menjauh dari pantai.
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

search

About

Seluk Beluk Sastra