CANTING

      Canting adalah judul novel karya Arswendo Atmowiloto. Novel ini diterbitkan oleh Penerbit Gramedia, tahun 1986. Cerita novel ini mengenai pengabdian seorang wanita Jawa kepada suami dan seluruh keluarganya. Selain itu juga menceritakan perjuangannya untuk membantu usaha suaminya. Sekalipun tokoh cerita ini sibuk dengan kegiatan usahanya, ia tidak pernah melalaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu rumah tangga. Di samping kedua hal itu, novel ini juga mengajukan masalah persaingan dalam bisnis batik tradisional dengan produk batik produksi pabrik modern yang canggih.
      Latar cerita novel ini adalah kehidupan masyarakat Jawa Tengah, khususnya Solo, dengan segala macam adat istiadat, tata krama, serta pernak-pernik bisnis kain batik khas Jawa.
      Tokoh-tokoh novel ini adalah Ngabehi Setrokusumo, keturunan bangsawan keraton.ia seorang priyayi  dan juga kepala keluarga yang bijak, baik, serta sangat dihormati. Dia seorag pengusaha batik tradisional merk Canting di Solo; Tuginem; seorang perempuan yang tegar, sabar, dan bijak, penuh tanggung jawag dan penuh pengabdian terhadap suami dan anak-anaknya. Sebelumnya, Tuginem hanyalah buruh pabrik batik. Dia menikah dengan pemilik pabrik batik tradisional tempat dia bekerja, yaitu Raden Ngabehi Setrokusumo. Setelah menikah dengan priyayi tersebut, namanya menjadi Bu Bei. Dialah yang kemudian mengurus usaha batik tradisional milik suaminya dengan sukses. Dia merupakan seorang wanita karier yang sukses.
      Raden Ngabehi Setrokusumo adalah pengusaha batik di Solo. Batik yang diproduksinya bermerk Canting. Ia tiba-tiba menjadi geger keluarganya. Sebagai keturunan keraton, kaya, dihormati dan disegani, ia memutuskan untuk menikahi wanita yang bukan dari keluarga keraton. Wanita itu bernama Tuginem, buruh pabrik tradisional miliknya. Tuginem hanyalah seorang buruh pabrik yang miskin dan bukan berasal dari kalangan priyayi, maka pernikahan mereka banyak mendapat tantangan dari keluarga besar Raden Ngabehi Setrokusumo. Walaupun demikian, pernikahan itu tetap dilangsungkan.
      Rumah tangga Raden Ngabehi Setrokusumo dan Tuginem sangat romantis. Tuginem yang merasa mendapat anugrah dari Tuhan Yang Mahakuasa benar-benar mengabdikan dirinya kepada suaminya. Setelah menikah, ia dipanggil dengan nama Ibu Bei. Secara diam-diam, Ibu Bei membantu usaha batik yang didirikan oleh suaminya. Berkat kerja kerasnya, usaha batik mereka bermerk Canting berkembang pesat.
      Kehidupan Bu Bei berubah sedemikian rupa. Ia menjadi sosok wanita karir. Akan tetapi, ia tidak meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Dia tetap melayani suami dan semua anaknya dengan baik. Keenam anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang membanggakan. Wahyu Deabrata menjadi dokter, Ismaya Dewakusuma menjadi insinyur, Waning Dewamurni menjadi dokter yang kemudian menjadi kontraktor yang sukses, sedangkan yang bungsu Subandini Dewaputri menjadi sarjana farmasi. Semakin lama kekuatan Ibu Bei dalam mengurus usaha batiknya dan mengurus rumah tangganya semakin berkurang. kelincahannya dalam menangani para pedagang di pasar Klewer Solo, tempat ia menjajakan batik Cantingnya mulai menurun. Apalagi batik tradisional Canting mereka mendapat saingan berat dari produk pabrik besar dan modern.
      Hal ini disadari oleh putra bungsu Bu Bei. Subandini Dewaputri itu tergugah hatinya untuk mengambil alih usaha itu. Ia tidak rela jika usaha keluarganya hancur begitu saja. Dia ingin membangkitkan lagi usaha keluargannya. Namun, niatnya ditentang oleh kakaknya. Terjadi perselisihan diantara mereka. Perselisihan mereka dapat diselesaikan oleh Raden Ngabehi Setrokusumo dengan bijaksana. Ibu Bei pun meninggal dunia. 
      Usaha batik itu diambil alih oleh Bandini atau Ni. Dengan penuh semangat, ia berusaha bersaing dengan batik-batik dari pabrik-pabrik besar. Ia kalah bersaing. Penjualan batik mereka semakin merosot. Dia frustasi dan jatuh sakit. Bahkan, ia hampir meninggal dunia karena sakitnya yag sagat parah. Ketika sakit itulah, timbul kesadaran dalam dirinya. Dia mulai memahami mengapa usaha batiknya tak dapat bersaing dengan produk-produk keluaran pabrik. Salah satu penyebabnya adalah merk. Dengan keteguhan hatinya, Ni akhirnya memutuskan untuk mengubah merk Canting menjadi Canting Daryono. Dengan nama baru itu, Ni meneruskan usaha batik tradisional milik keluarganya.
      Keputusan mengubah nama Canting menjadi Canting Daryono itu sangat tepat. Usaha batik mereka, secara perlahan tetapi pasti mampu bersaing dipasaran. Ni tidak menangani usaha itu seorang diri, dia dibantu oleh kakak-kakaknya. Batik mereka mulai dikenal lagi, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga mulai dilirik oleh turis asing. Sungguh suatu kerja keras yang tiada henti. Mereka sekeluarga saling bahu-membahu menangani usaha itu.
      Ni menikah Dengan Hermawan. Pria pilihannya sendiri. Hermawan adalah pria yang sabar menunggu Ni, selama gadis itu menangani perusahaan keluarganya. Pesta perkawinan mereka diadakan tepat pada selamatan setahun meninggalnya Bu Bei.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

search

About

Seluk Beluk Sastra