Waktu Bak Pisau Belati


Esai karya Eneng Sri Wahyuni( Mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Siliwangi)

Tuhan menciptakan waktu agar manusia bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun kenyataannya dewasa ini manusia banyak menggunakan waktu tersebut untuk hal-hal yang kurang bijaksana. Bahkan kebanyakan orang menilai bahwa waktu itu seolah-olah memperbudak manusia dan menganggap waktu itu mengejar mereka dan akan memangasa mereka dengan sekejap.
Selain itu waktu pun bisa membuat sebagian orang tertekan, resah, gelisah, panik bahkan takut. Hal ini sama seperti yang dirasakan oleh Nayla tokoh yang ada dalam cerpen Djenar Maesa Ayu. Dalam cerpennya Djenar menggambarkan kondisi kejiwaan sang tokoh yang merasa tertekan dan gelisah oleh waktu yang dia anggap waktu itu seperti pisau belati yang siap menusuk seakan memburunya dan akan menjadikannya abu dalam sekejap.
Kondisi kejiwaan seperti ini banyak dialami oleh sebagian orang di dunia ini. Namun yang membedakan munculnya rasa itu hanyalah penyebabnya saja. Dalam cerpen Djenar Nayla mengalami hal tersebut karena ia takut kehilangan waktunya yang hanya tinggal satu tahun semenjak ia mendengar dokter menyampaikan bahwa sudah terdeteksi sejenis kanker ganas pada ovariumnya.
Semenjak itu Nayla merasa waktu mulai tak bersahabat dengannya. Dia mulai gelisah dan takut akan waktu. Dan dia pun mulai bingung harus mulai dari kapan dia menghitung waktu hingga sampai pada waktu yang ditentukan dokter padanya.
Manusia sudah menerima hukuman mati tanpa pernah tahu kapan hukuman ini akan dilaksanakan. Karena itu Nayla tidak tahu mana yang lebih layak, merasa terancam atau bersyukur. Di satu sisi ia sudah tidak perlu lagi bertanya-tanya kapan eksekusi akan dilaksanakan. Tapi apakah setahun yang dokter maksud adalah 12 bulan, 52 minggu dan 365 hari dari sekarang? Bagaimana kalau satu tahun dimulai dari ketika kanker itu baru tumbuh. Atau satu minggu sebelum Nayla datang ke dokter. Atau mungkin benar-benar pada detik ketika dokter itu mengatakan satu tahun.
Dengan melihat kondisi ini kita bisa merasakan ketakutan dan kegelisahan yang dirasakan oleh tokoh ini. Namun tidak sedikit juga orang merasakan hal yang sama namun bukan karena mendengar dirinya divonis mengidap penyakit kanker ganas namun karena hal lain bisa karena hutang, tuntutan pekerjaan ataupun karena kurangnya rasa bersyukur dalam menjaliani kehidupan.
Padahal sebalumnya Nayla begitu akrab dengan waktu. Waktu adalah pelengkap, sebuah sarana mempermudah kegiatan sehari-hari, menuntunnya jadi roda kebahagiaan sehari-hari, mengingatkannya, dan waktu bukanlah sesuatu yang patut diresahkan. Karena waktu yang berjalan, hanyalah roda yang berputar tiga ribu enam ratus detik kali dua puluh empat jam. Gerakan mekanis rutinitas kehidupan, menggelinding di jalan bebas hambatan.
Hal ini pun bisa dirasakan oleh orang banyak saat mereka merasakan kebahgiaan dan menganggap bahwa hidup itu jauh dari masalah namun bila masalah itu datang maka manusia pun menganggap bahwa waktu itu adalah musuh yang akan menyergap dan membunuh dengan tiba-tiba.
Namun bila kita melihat dan merasakan kondisi yang dialami tokoh Nayla dalam cerpennya Djenar maka kita pun akan merasakan betapa resah dan tertekannya hidup dalam kondisi seperti itu. Namun kondisi ini akan berbeda bila kita melihatnya dari sisi lain dengan menganggap masalah itu adalah ujian yang harus kita lalui dan jalani dengan penuh rasa keimanan dan rasa syukur. Karena Tuhan tidak akan memberikan ujian kepada makhluknya yang tidak mampu, tergantung kita menyikapinya.
 Lain halnya dengan kondisi Nayla pada saat mengalami rasa depresi itu ia ingin menunda waktu, mengulur siang hingga tidak kunjung tiba malam. Nayla ingin merampas bulan sampai matahari selalu bersinar. Nayla ingin menghantamkan palu ke arah jam sehingga suara alarmnya bungkam. Nayla ingin menunda kematiaan.
 Ia mulai merasa kewajiban sebagai beban, ia mulai cemburu pada orang-orang yang masih dapat berjalan santai sambil berpegangan tangan.  Nayla ingin melakukan hal yang bisa membuatnya merasa puas dan senang meskipun yang diperbuat itu salah.
Dengan kondisi kejiwaan dan perbuatannya Nayla sepeti itu hanya akan menbuatnya membuang-buang waktu saja. Sampai akhirnya ia tersadar bahwa hidup adalah ibarat mobil berisikan satu tangki penuh bahan bakar. Ketika sang pengendara sadar bahan bakarnya sudah hampir habis, ia baru mengambil keputusan perlu tidaknya pendingin digunakan, untuk memperpanjang perjalanan, untuk sampai ke tujuan yang diinginkan.
Akhirnya Nayla pun memacu laju mobilnya semakin kencang. Memburu kesempatan untuk bersimpuh memohon pengampunan atas dosa-dosa yang Nayla sesali tidak sempat ia lakukan, sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu.
Bila kita menyimak dari kondisi yang dialami Nayla maka kita bisa menyadari bahwa waktu adalah hal yang sangat berharga bagi kehidupan kita. Tanpa waktu kita tak bisa menjalani hidup karena hidup itu menjalani waktu. Seperti kereta yang melintas di atas rel. Tanpa rel maka kereta tak mungkin bisa berjalan.
Namun bila kita melihat dari kondisi kejiwaannya, kita dapat mengambil kesimpulan rasa resah, gelisah dan tertekan itu bisa kita sikapi dengan cara kita mendekatkan diri kepada sang Kholik. Jangan sampai seperti sikap Nayla yang baru menyadari saat ia mulai kehabisan waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

search

About

Seluk Beluk Sastra