AFORISME

Dalam bahasa Inggris disebut aphorism dan dalam bahasa Perancis aphorisme. Maksud istilah ini adalah pernyataan yang padat dan ringkas tentang suatu sikap hidup atau tentang suatu kebenaran umum. Peribahasa seperti '' Alah bisa karena biasa '' mempunyai ciri afforisme.

AFFECTIVE FALLACY

Dari istilah bahasa Inggris yang berarti salah nalar atau sesaat fikir dalai menilai karya sastra,yakni dengan mendasarkan penilaian itu pada pengaruh emosional karya itu terhadap pembaca; suatu pengeliruan antara karya itu sendiri dan apa yang diakibatkan olehnya. Misalnya penilaian suatu karya sastra oleh suatu pihak yang mengakibatkan karya tersebut dilarang beredar.

Aferesis

Dari istilah latin aphaeresis, petumenggalan huruf awal atau suku kata awal kata. Misalnya, "tirta marta'' untuk ''tirta amarta'', ''kan'', untuk  ''akan''

Afektasi

Dari istilah Inggris affectation. Maksud istilah ini ialah tingkah laku atau tindak tanduk yang dibuat-buatuntuk menimbulkan kesan tertentu pada orang lain yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam cerita rekaan atau drama.

AD LIBITUM

Dari istilah Latin yang berarti 'seenaknya', 'mana suka' . Bentuk kependakannya ad lib. Menjadi istilah drama yang merunjuk kepada gerak atau ucapan yang dilakukan secara spontan oleh pameran(tidak tertera dalam naskah).



AD-LIB

Istilah yang berasal dari bahasa Latin adlib. Maksudnya adalah penambahan (misalnya,inprovisasi) kata-kata dan gerak dalam suatu pementesan; berasal dari bahsa latin,ad-libitum 'dengan senang hati '. Lihat AD LIBITUM.

Addendum

Dari istilah latin dan perancis disebut addition. Tambahan atau sesuatu yang ditambahkan;misalnya apendiks yang ada pada buku. Bentuk jamaknya,addenda. Istilah lain: lampiran dan tambahan.

Adaptasi

Berasal dari istilah bahasa Inggris adaptation. (1) Pengolahan kembali suatu karya sastra ke dalam bahasa lain dengan menyesuaikan unsur-unsurnya pada lingkungan budaya bahasa sasaran itu. Misalnya Si bachil karya Nur Sutan Iskandar adalah adaptasi karya Moliere L'avare: (2) Pengolahan kembali suatu karya sastra dari suatu jenis ke jenis lain dengan mempertahankan lakuan,tokoh,serta gaya dan nada aslinya. Misalnya, Novel ditulis kembali menjadi drama. Istilah lain dari adaptasi ialah saduran.

Abstraksi

Istilah ini berasal dari bahasa Inggris abstraction. Maksud istilah ini adalah ringkasan atau intisari suatu karangan atau tulisan. Di samping itu, dapat pula diartikan sebagai suatu metode atau cara untuk memperoleh pengertian melalui seleksi terhadap gejala atau peristiwa sehingga menunjukkan sebab akibat atau pengertian umum.

Abstrak

Istilah ini berasal dari bahasa Inggris abstract,yang artinya sifat tak nyata. maksudnya adalah sifat atau pengertian umum yang diangkat atau dipisahkan dari sesuatu yang nyata atau berwujud fisik. Misalnya, keindahan, kemiskinan, dan lain-lain.

Adagium

Ungkapan tradisional yang diterima sebagai suatu kebenaran. Contoh: ''orang sabar kekasih Allah.'' Adagium ada hubungannya dengan istilah lain yang menyatakan suatu kebenaran umum seperti aforisme.maksim,pepatah,dan peribahasa. Di dalam teks-teks sastra khusunya fiksi dan drama adagium sering ditemukan dalam dialog para tokohnya.

AB OVO

Kata ini dalam bahasa Latin berarti '' mulai dari telur '' Dalam dunia sastra istilah ini digunakan untuk menggambarkan alur yang dimulai dari awal rangkaian cerita. misalnya,sebuah cerita dimulai dengan masa kecil tokoh,meningkat ke masa remajanya,selanjutnya masa tuanya.

Abaian

Istilah filologi yang diambil dari bahasa Inggris,trivalization. Abaian adalah penghilangan atau pengubahan bagian naskah yang dianggap tidak berarti atau tidak dipahami oleh penyalin.

Sandiwara Hang Tuah

Dalam buku ini terhimpun 16 cerpen pilhan Taufik yang ditebitkan oleh penerbut Grasindo.  Cerpen-cerpen yang dimuat dalam buku ini pernah dimuat pada media cetak: Horison,Kompas,amanah,Suara Karya,Menyimak,Kalam,Riau Pos,Suara Pembaharuan,Sriwijaya Pos,Berina Buana, dan Majalah Kartini. Menurut penulisnya,'' kesemua cerpen dalam buku ini adalah lintasan nasib,kepedihan,dan harapan masyarakat melayu pada umumnya.''

SALJU DI PARIS

Kumpulan cerita pendek karya Sitor Situmorang. Selama ini memang ia lebih dikenal sebagai penyair, tetapi ia juga banyak menulis cerita-cerita pendek. Buku ini pertama diterbitkan tahun 1994 oleh Penerbit Grasindo. Salju Di Paris memuat 12 cerita pendek; 102 halaman. Cerpen-cerpen yang termuat di dalam kumpulan cerpen ini sebagian diambil dari kumpulan cerita pendek Pertempuran dan Salju di Paris yang pernah diterbitkan tahun 1956. Meski demikian, jangan dipandang enteng kumpulan cerpen Salju di Paris yang merupakan "pemadatan" sejumlah cerpennya yang lain. Makna simbol "Salju di Paris" terekam dalam karya ini. Adakah melambangkan kelembutan, ataukah sebaliknya, badai?

AGAM WISPI

Penulis ini dilahirkan di Pangkalan Susu Sumatera Utara tanggal 31 Desember 1930 dan meninggal di  Amsterdam di sebuah verpleghuis (rumah jompo), Belanda tanggal 1 Januari 2003.
      Agam Wispi pernah menjadi wartawan harian pendorong (1952) di Medan. Tahun 1957, Agam pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai redaktur budaya Harian Rakyat. Pada bulan Mei 1965, Agam ke Vietnam untuk meliput perang. Ia sempat mewawacarai Ho Chi Minh. Selanmujutnya ia berkelana ke Cina. Pada saat peristiwa G 30 S, Ia sedang di Cina. Ia sempat lima tahun di karantina (diipenjara) di Tiongkok Selatan. Dari Cina ia ke Moskwa, Jerman Timur, dan sejak 1988menetap di Amsterdam sampai akhir hayatnya. Ia tidak pernah menetap lagi ke tanah airnya. Ia memang pernah pulang, tahun 1999dan 2000 ia berkunjung, ke tanah airnya lagi, setelah sekian tahun berkelana di luar negeri.
      Kumpulan sajaknya yang pernah terbit adalah Matinya Seorang Petani (1955), Di Negeri Orang, Puisi Penyair Indonesia Eksil (Antologi puisi, 2002). Beberapa penyair seperti Asahan Alham, Nurdiana, Chalik Hamid, dan Sobron Aidit memuat puisinya dan antalogi ini.

TIRAI MENURUN

Novel karya Nh. Dini, diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 1993. Novel ini disusun seperti adegan-adegan pertunjukkan wayang orang, yang menyuguhkan babak demi babak kehidupan empat tokohnya: Kedasih, Kintel, Sumirat, dan Wardoyo. Novel ini menggunakan teknik penceritaan orang ketiga, pengarang menempatkan dirinya sebagai orang yang serba tahu dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling dalam dari tokoh-tokohnya. Penggunaan teknik penceritaan ini menjadi menarik apabila dibandingkan dengan novel-novel Nh. Dini sebelumnya yang hampir selalu menggunakan teknik penceritaan akuan (orang pertama).
      Pemaparan dimulai ketika Republik Indonesia Serikat baru kembali menjadi negara kesatuan. Arus pendatang memasuki Semarang dari segala penjuru. Berasal dari empat desa. Tokoh-tokoh kisah ini bertemu di kota. Pada siang hari mereka hidup menurut jalan yang digariskan nasib sebagai rakyat jelata yang papa, dibebani selaksa kebutuhan tak terpenuhi. Di waktu malam, bermandikan sinar listrik dan pantulannya yang gemerlapan pada ribuan perada serta manik-manik, mereka menjelma menjadi puteri dan pangeran kerajaan yang cantik dan tampan, resi atau pertapa yang bijak berilmu tinggi, raja agung adikuasa, bahkan sebagai dewa dewi atau binatang gaib yang tak terbatas kesaktiannya.
      Mereka hidup dalam kungkungan dua dunia: nyata dan impian. Akan tetapi, itulah dunia yang mereka pilih dengan kerelaan yang tulus. Sang dalang berhak mengatur serta merangkai alur cerita dan peristiwa di pentas. Tanpa sadar, di panggung kehidupan ia terjerat oleh rangkaiannya sendiri. Namun, dialah yang mengakhiri pertujukkan. Dia sempat menancapkan gunungan di tengah-tengah layar.

CINDUR MATA

Cindur Mata adalah roman karya H. Aman Dt. Majoindo yang diterbitkan oleh Balai Pustaka Tahun 1951. Cerita ini didasarkan dari cerita rakyat yang hidup ditengah-tengah masyarakat Minangkabau. Di Minangkabau cerita ini dinamakan Kaba Cindue Mato dan sangat dikenal oleh lapisan penduduk Minangkabau. Mereka menganggap bahwa cerita ini mengandung hikmah dan kebenaran. Tokoh-tokoh cerita ini adalah Bunda Kandung; raja perempuan yang memerintah Minangkabau; Sutan Rumandung atau Dang Tuanku, Putera Bunda Kandung; Kambang Bendahari, ibu Cindur Mata; Cindur Mata, orang kepercayaan Bunda Kandung; Raja Jenang, ayah Puti Bungsu; Puti Bungsu, istri Dang Tuanku; Tiang Bungkuk, ayah Imbang Jaya; Imbang Jaya, raja yang akan ditunangkan dengan puti Raja Muda; Puti Lindung Bulan, ibu Puri Bungsu dan Puti Reno Bulan; Puti Janit Jintan, adik Imbang Jaya; Puti Reno Bulan, adik Puti Bungsu; Sutan Lembang Alam, putra Cindur Mata dari pernikahannya dengan Puti Reno Bulan, yang kemudian bergelar Sutan Amiru'llah; Puti  Lembak Tuah, adik Sutan Amiru'llah.
      Bunda Kandung adalah raja perempuan yang memerintah Minangkabau. Ia memiliki putera yang bergelar Dang Tuanku. Dang Tuanku telah dinobatkan menjadi raja, sehingga Bunda Kandung hanya penasihat kerajaan.
      Bunda Kandung menyuryh Dang Tuanku membicarakan perjodohan Cindur Mata dengan Putri Lenggo Geni. Perundingan ini agar dirahasiakan. Jika ditolak, mereka tidak mendapat malu. Ia memerintahkan anaknya mengajak Cindur Mata dan beberapa pelayan, yaitu Barakar, Baruiin, dan Tambani, serta membawa seekor ayam kinantan sambungan. 
      Dalam perjalanan menuju Sungai Tarab itu, rakyat terkagum-kagum dengan penampilan mereka yang gemerlapan. Mereka berlomba-lomba melihat rombongan itu. Kemudian, datanglah seorang menteri tua menyuruh seorang utusan untuk memberitahukan Datuk Bandahara akan kedatangan raja mereka. Mendengar kedatangan rombongan raja itu. Datuk Bendahara segera mengadakan pesta penyambutan yang sangat meriah.
      Dang Tuanku menceritakan maksud kedatangannya untuk menjodohkan Cindur Mata dengan Putri Lenggo Geni. Datuk Bendahara mengabulkan permintaan itu. Sebagai tanda pertunangan, Dang Tuanku menyerahkan rencong tatah permata buatan Agam Mandiangin. Datuk Bandahara memberi cincin permata akik.
      Dang Tuanku dan Datuk Bandahara esoknya menyambung ayam di gelanggang. Ketika Cindur Mata berjalan-jalan di pasar, ia bertemu pedagang yang menjual ayam sambungannya. Dari pedagang itu, Cindur Mata menjelaskan bahwa di negerinya akan diadakan pesta pernikahan Tuanku Imbang Jaya dan Upik Puti Bungsu. Sebenarnya, Puti Bungsu telah bertunangan dengan Dang Tuanku. Namun, tersiar bahwa Dang Tuanku menderita penyakit yang menjijikkan sehingga ia dibuang dari Pagaruyung. Tuanku Raja Muda memutuskan untuk menikahkan putrinya dengan Imbang Jaya. Untuk menjaga segala kemungkinan, Tuanku Imbang Jaya membayar orang-orang sebagai penyamun di Bukit Tambun-tulang untuk menyamun orang-orang yang datang dari Barat. Mendengar itu, Cindur Mata marah dan langsung mengajak Dang Tuanku kembali ke negerinya. Datuk Bandahara dan orang-orang menjadi bingung. 
      Bunda Kandung marah besar kepada Raja Muda setelah mendengar cerita itu. Ia bahkan ingin menyerang kerajaan Raja Muda. Sekalipun Dang Tuanku dan Cindur Mata berusaha mengingatkannya bahwa peperangan itu akan menghabiskan persediaan emas dan perak Istana, ia tidak peduli.
      Dang Tuanku menyarankan kepada Bunda Kandung untuk memerintahkan Cindur Mata berkunjung ke Sikelawi. Ia ditemani oleh Binuang (kerbau besar seperti gajah), Gumarang (kuda yang larinya sangat cepat), membawa beras secupak, sirih pinang lengkap pertanda putih hati dan muka yang jernih. Tugas yang diembun Cindur Mata ke Sungai Ngiang itu sangat berat. Sebelum pergi, Dang Tuanku berpesan untuk menemui Puti Bungsu dan menceritakan bahwa ia dalam keadaan baik. Ia juga memerintahkan untuk menjemput sang putri. Jika sang putri tidak mau, ia sendiri yang akan menjemputnya.
      Sesampai di bukit Tambun Tulang ia mendapat firasat akan bahaya yang mengancam karena banyak penyamun yang akan menghadang perjalanannya. Mereka bukan menyamun karena harta, bukan pula karena dendam, melainkan nyawa.
      Gerombolan penyamun itu dipimpin oleh Datuk Gempa Cina, Datuk Biduri Sakti Datuk Rendang Kacang, Datuk Gerak Gasing, dan Mancit Pelejang Antah, dan masih banyak lagi. Cindur Mata menantang pimpinan gerombolan penyamun tanpa gentar. Dengan kesaktiannya, ia berhasil membunuh para penyamun. Karena jumlah mereka sangat banyak, Cindur Mata kewalahan. Binuang datang membantu dengan menyeruduk gerombolan itu sehingga mereka lari kocar-kacir dan menyerah.
       Cindur Mata terus berjalan menuju Sungai Ngiang. Ia berhenti di tepian sungai milik Putri Janit Jintan yang dilarang untuk dimasuki. Karena tidak tahu larangan itu, Cindur Mata membiarkan si binuang minum air sungai itu dan berkubang didalamnya sehingga air sungai menjadi sangat keruh. Putri Janit Jintan menyuruh hulubalangnya menangkap Cindur Mata. Pertarungan diantara mereka pun tidak dapat dihindari.
      Salah seorang hulubalang itu melaporkan kejadian itu kepada Raja Imbang Jaya. Raja Imbang Jaya mengizinkan Cindur Mata melanjutkan perjalanan.
      Cindur Mata sampai di ranah Sikelawi. Semua menteri dan balatentara dipanggil oleh Raja Muda untuk menyambut kedatangan Cindur Mata. Cindur Mata menjelaskan maksud kedatangannya dan menyampaikan titah Bunda Kandung untuk memberikan cendera mata dari Pagaruyung.
      Raja Muda meminta Cindur Mata tetap di istananya, sedangkan ia akan pergi ke Pagaruyung menengok kemenakan dan kakak kandungnya. Cindur Mata menahan keinginan Raja Muda.
      Persiapan pesta pernikahan Puti Bungsu dengan Imbang Jaya terus berjalan. Dengan suatu muslihat Cindur Mata dapat bertemu dengan Puti Bungsu. Cindur Mata menyampaikan pesan dari Dang Tuanku. Jika hal ini terjadi, maka perang saudara tidak dapat dihindari, Dang Tuanku akan menjemput paksa Puti Bungsu.
      Mereka mengatur rencana untuk melarikan diri. Setelah acara perjamuan makan, Raja Muda menyuruh Cindur Mata, pejabat-pejabat penting, menteri untuk menjemput mempelai pria dengan berbagai sambutan yang meriah. Setelah itu tejadi hal-hal yang gaib, sehingga Cindur Mata dapat menculik Puti Bungsu. Cindur Mata membawa Puti Bungsu ke Pagaruyung.
      Mengetahui kedatangan Cindur Mata seorang diri, Bunda Kandung mengumpulkan Besar Empat Balai, Tuan Kadi, beserta seluruh rakyat meminta penjelasan dari Cindur Mata. Di mata orang-orang Pagaruyung tindakan Cindur Mata dianggap salah. Cindur Mata menjelaskan bahwa ia menitipkan Putri Bungsu di istana Tuan Kadi. Bunda Kandung mengajak Kembang Bendahari, Kembang Bungcina, dan dayang-dayang istana untuk menjemput Puti Bungsu. Semua menurutinya, kecuali Dang Tuanku dan Cindur Mata. Ketika bertemu dengan Puti Bungsu, Bunda Kandung tidak dapat menahan air matanya. Ia memeluk kemenakkannya.
      Sementara itu, semua orang termasuk Tuan Kadi, Besar Empat Balai, dan Raja Dua Sila-orang terakhir yang dapat memutuskan suatu perkara-tidak dapat memutuskan hukuman yang tepat bagi Cindur Mata. Semuanya menyerahkan permasalahan itu kepada Dang Tuanku. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya Dang Tuanku berkata, "Jika orang tua Puti Bungsu datang karena rindu kepada anaknya dan hendak membawa puterinya kembali, kita antarkanlah beramai-ramai sampai ke ranah Sikewali. Namun, jika Imbang Jaya yang datang kemari, jangan menyerahkan Putri Bungsu kepadanya karena belum tentu sang putri menyukainya. Jika kedatangan mereka bermaksud mengajak berperang, maka Bunda Kandung harus mempersiapkan segalanya. Jalan yang terbaik saat ini adalah mengirim Putri Bungsu dan Cindur Mata ke Indrapura. Jika Imbang Jaya datang kemari, ia tidak dapat menemui keduanya."
      Permasalahan itu pun selesailah sudah. kini mereka mempersiapkan pesta pernikahan antara Cindur Mata dengan Puti Lenggo Geni dan pernikaha Dang Tuanku dengan Puti Bungsu. Pada petang Kamis malam Jumat, kedua pasangan itu dinikahkan. Dang Tuanku dan Puti Bungsu ti nggal di dalam kampung Kota Dalam, diatas anjuenggo Geni pulang ke Sungaitarab.
      Sementara itu, Imbang Jaya yang kehilangan tunangannya sangat marah. Ia bermaksud menyerang Pagaruyung yang telah menculik tunangannya. Putri Ranit Jintan mengusulkan agar mereka membakar Pagaruyung dengan cermin api besar. Ia menyuruh beberapa orang pergi ke Pagaruyung dan menjalankan rencananya. mereka mengarahkan cermin itu ke segala penjuru, sehingga rumah-rumah kecil di sekitar negeri Pagaruyung terbakar.
      Kobaran apinya terlihat oleh Dang Tuanku. Ia mengambil cermin terus dan mengarahkan cermin itu ke kobaran api. Ia melihat banyak orang berkumpul di Batupatah sedangkan mengarahkan cermin besar. Ia memerintahkan Cindur Mata menumpas mereka. Cindur Mata menghunus pedang jenawi dan membawa si binuang untuk menumpas musuh. Perang itu dimenangkan oleh Cindur Mata.
      Mendengar kekalahan pasukannya, Imbang Jaya sangat marah. Ia mengerahkan pasukannya menyerang Pagaruyung. Pertarungan pun berlangsung sengit. Imbang Jaya tewas terbelah dua oleh Raja Dua Sila. Melihat rajanya mati, pasukan Imbang Jaya menyerah. Raja Tiang Bungkuk-ayah Imbang Jaya-sangat marah mendengar kematian anaknya. Ia bermaksud ntuk menghadapi Tiang Bungkuk, Cindur Mata akan menghadapinya secara langsung tanpa melibatkan raja Dua Sila dan Besar Empat BAlai.
      Suatu malam, Dang Tuanku bermimpi bahwa ia, Bunda Kandung, dan Putri Bungsu diperintahkan untuk meninggalkan dunia ini. Pada saat Tiang Bungkuk datang, dari langit akan turun sebuah perahu-perahu Nabi Nuh- yang akan membawa mereka. Ketiganya yidak akan dikuburkan di Pagaruyung melainkan di tanah suci. Mendengar mimpi Dang Tuanku, Bunda Kandung menangis dan menitahkan seluruh rakyat untuk berkumpul. Ia kemudian menobatkan Cindur Mata sebagai Raja Pagaruyung, dengan gelar Raja Muda. 
      Takala mendengar kedatangan Tiang Bungkuk, Cindur Mata yang telah bergelar Raja Muda, segera bersiap untuk menyambutnya. Keduanya bertemu dan saling menyerang. Dengan segenap kemampuannya, keduanya berusaha saling menyerang, mereka sama-sama kuat. Semua orang yang menyaksikan pertarungan itu berdebar-debar karena tidak ada tanda-tanda kekalahan pada salah satu diantara mereka hingga pertarngan keduanya pun dihentikan. Namun, dengan kecerdikan Cindur Mata, ia dapat mengelabui Tiang Bungkuk. Ia berhasil menikam Tiang Bungkuk berulang kali, hingga Tiang Bungkuk jatuh roboh. Sebelum meninggal, Tiang Bungkuk berpesan kepada Cindur Mata agar ia menjaga negeri Sungingiang dan menyerahkan putrinya, Ranit Jintan.
      Cindur Mata diangkat menjadi raja Sungaingiang dan ranah Sikelewi. Ia kemudian menikah dengan Puti Retno Bulan, adik kandung Puti Bungsu, anak Puti Lindung Bulan. Tiga musim setelah pernikahannya dengan Puti Retno Bulan, lahirlah Sutan Lembang Alam, yang kemudian bergelar Sutan Amiru'llah. Tiga musim kemudian, lahirlah adik dari Sutan Amiru'llah yang bernama Puti Lembak Tuah. Selanjutnya Sutan Amiru'llah dinobatkan sebagai raja untuk menggantikan ayahnya.
      Akhirnya, Cindur Mata pulang ke Pagaruyung. Cindur Mata memerintah Minangkabau dan taklukannya. Cindur Mata yang bergelar tuanku Raja Muda memerintah secara bijaksana. Pada masa ini rakyat makmur dan negeri aman.

CALA IBI

Cala Ibi adalah novel karya Nukila Amal yang diterbitkan oleh Pena Klasik tahun 2003. Novel ini masuk nominasi lima besar dalam pemilihan Khatulistiwa Literaly Award (KLA) 2003.
      Kalimat-kalimat dalam novel ini penuh metafor. Seperti tarian yang tangkas dan bernas hingga kalimat-kalimatnya itu menjelma menjadi rangkaian aforisma. Indah, tapi mungkin sulit dimengerti. Tidak hanya kalimat-kalimatnya yang pendek yang membuat orang membutuhkan kesabaran untuk membacanya. Juga penggunaan metafor yang luar biasa, bertaburan dimana-mana, yang sekaligus berfungsi sebagai imaji yang liar.
      Menurut penulisnya, Cala Ibi itu idiom lokal Ternate yang artinya adalah sepesies burung, yang biasa kita kenal dengan burung gereja. Akan tetapi, Cala Ibi suaranya lebih merdu dan badannya lebih kecil. Cala Ibi bukan hanya sebuah novel yang memperkarakan hakikat nama, peristiwa dan cerita, maya dan nyata, diri dan ilusi, tapi juga memperkarakan kodrat kata dan bahasa itu sendiri. Kendati tiap bagian novel itu seperti cerita utuh tersendiri, sebuah alur tertentu bisa juga dikenali. Novel ini memang bisa dilihat sebagai cerita tentang apa saja. Tapi ada alur menonjol dari awal hingga akhir tentang semacam perjalanan Oddisey mencari hakikat diri, pencarian diri seorang yang bernama Maya lewat pigur kembarannya dalam mimpi, Maia. Pencarian yang bermula dari peristiwa surealistik saat cermin-cermin kaca berpecahan, saat citra dan bayangan diri berantakan, dihancurkan oleh malam.

Dari Jodoh Sampai Supiyah

Kumpulan lima belas cerpen hasil sayembara Kicir Emas 1975.  Diterbitkan oleh Radio Nedherland' Wereldomroep dengan kerjasama penerbit Djambatan,Jakarta,tahun 1976. Kumpulan cerpen ini memuat memuat cerpen berikut ini : Jodoh (AA Navis); Kena Jaring (Rahmat Ali); Serantang Kangkung (Oei Sien Tjwan); Kerisik Daun-daun Pohon Mangga (S.N. Ratmana); Jasa-jasa Buat Sarwirya (Ahmad Tohari); Persahabatan (Yunus Muki Adi); Kereta Api (Ruslan Marpaung); Roda Derita (Sri Wijani Soemartojo B.A.) Salam dan Pesan Paman (Iskasiah Sumarto); Kapten Tahir  (Y.B Mangunwijaya); Kemarau (Mohamad Fudoli); Kematian Kemanusiaan (Gerwin S.); Keris (Purnawan Tjondonegoro); Panggil Audrey Saja! (Myra Sidharta); Supiyah (H. Marianne Katoppo).
      Cerpen ''Jodoh'' , misalnya, menceritakan seorang jejaka bernama Badri yang kalau dibandingkan dengan angkatannya,sudah dipandang sangat terlambat memperoleh istri. Padahal sebenarnya ia tidak sulit untuk memperoleh jodohnya. Akan tetapi ia terlalu banyak perhitungan dan kalkulasi. Ia harus menyeleksi seketat mungkin bakal jodohnya. Ia harus mencari jodoh yang mempunyai pekerjaan tetap,pegawai negeri,terutama guru,dengan tinggi 160 senti. Kebetulan ada. Lena namanya. Merekapun kemudian menjalin hubungan. Akan tetapi,ketika Badri bertandang kerumah Lena. Ia terpana karena Lena marah sambil menyebut-nyebut nama Rosni. Pertengkaran terjadi. Badri pulang dengan loyo. Hubungan mereka terputus.
      Kini Badri meneliti rubrik kontak jodoh yang dimuat sekali seminggu dalam satu surat kabar di kota kediamannya. Akhirnya,ia menemukan gadis berkode AX/19. Maka ia segera menulis surat kepada redaksi untuk membuat kontak. Mereka akan bertemu di depan toko Lima jam lima sore,dengan kode masing-masing. Badri lebih cepat datang. Persis jam lima,gadis berswiterkuning (sebagai tanda) hendak keluar. Mereka saling tegun dengan mata yang membeliak. Karena menarik simpulan bahwa Lena pastilah jodohnya. Ketika telah dekat, dipegangnya tangan lena kuat-kuat. Lena minta dilepaskan,kalau tidak Lena akan berteriak. Lena memang berteriak,orang ramai segera datang,mereka diboyong ke kantor polisi. Di sini semua kartu dibuka dan semua dijelaskan oleh Badri.
      Cerita ini ternyata naskah cerpen yang dibuat oleh Badri tentang kisah masa lalunya. Mereka kini bahagia dengan dua orang anak.

BROMOCORAH

Kumpulan cerpen (cerita pendek) karya Mochtar Lubis, diterbitkan oleh Sinar Harapan, Jakarta, tahun 1983. Buku cerpan ini memuat 12 judul cerpen: Bromocurah; Abu Terkabar Hangus; Hati yang Hampa; Pahlawan; Uang, Uang, Uang; Hanya Uang; Wiski; Dara; Dukun; Hidup adalah Sebuah Permainan Rolet; Rekanan; Gelas yang Pecah; dan Perburuan.
      Cerpen Bromocorah yang menjadi judul dari kumpulan cerpen ini bercerita tentang suatu pagi (subuh), seorang laki-laki, tanpa membangunkan istrinya, diam-diam meninggalkan rumahnya. Ia menuju tegalan yang rata dengan puncak bukit. Dia mengambil sikap silat menghadap matahari terbit, dan pelahan-lahan menggerakkan anggota tubuhnya. Pada suatu saat, ia melihat gerakan-gerakan sosok hitam yang amat cepat. Setelah peluhnya mengucur, ia mengucapkan doa mohon perlindungan, keselamatan dan kekuatan dari Yang Maha Kuasa. Setelah itu dia berdiri santai.
      Yakin akan kekuatan dirinya, ia melangkah mendaki bukit masuk ke dalam hutan jati. Di tengah hutan itu, ia bergerak hati-hati, seperti tidak mau mengganggu makhluk lain. Pada saat yang sama, matanya melihat sebuah bayangan bergerak, menghilang di balik sebuah pohon. Dia merasa senang lawannya merasa perlu berhati-hati. Dan tiba-tiba sebuah gerak berwarna hitam muncul dari balik pohon, cepat dan keras menuju dirinya, diiringi sebuah teriakan yang tidak terlalu keras, tetapi mengejutkan.
      Namun, dia seorang juru silat yang berpengalaman, anak seorang bromocorah. Cepat ia mengelak serangan. Ia melakukan serangan kembali. Beberapa saat mereka saling menunjukkan keahliannya. Ternyata lawannya adalah seorang anak muda dari desa lain. Ia menyarankan agar lawannya itu tidak mengganggu kampungnya. Akan tetapi, permintaan itu ditolak. mereka kemudian kembali berkelahi. Lawannya kalah. Lawannya heran kenapa ia tidak membunuhnya. Ia mengatakan bahwa lawannya masih muda. Sementara itu, ia teringat anaknya yang masih tidur. Setelah anaknya besar, ia ingin anak tidak mengikuti jejaknya. Ia suruh lawannya pergi.
      Saat kembali ke kampungnya, ia berpapasan dengan orang-orang kampung. Meskipun saling menyapa, ia merasa berada di luar masyarakat kampung. Dia juga bimbang, apakah ia akan mengajarkan anaknya ilmu silat. Bila ia mengajarkan anaknya ilmu silat, pastilah anaknya akan mengikuti jejaknya, seperti ia mengikuti jejak ayyahnya, dan sperti ayahnya mengikuti jejak neneknya, dan seterusnya. 
      Tiba di rumah, anaknya sudah berangkat sekolah, istrinya sudah menyiapkan sarapan. Sore harinya, ia menyampaikan pikirannya kepada istrinya bahwa cara hidup sekarang tidak dapat diteruskan. Sebulan kemudian dia pergi ke kantor lurah, mencatatkan dirinya, istrinya, dan anaknya untuk calon transmigrasi keluar Jawa. Setelah tiga bulan, ia tidak juga mendapat berita dan lurah tidak dapat memberikan penjelasan, sedangkan beberapa kepala keluarga di kampungnya sudah berangkat. Akhirnya ia mengetahui bahwa ia ditolak transmigran, dengan alasan karena dia dikenal sebagai seorang bromocorah. Dia kembali kerumahnya, dan setiap sore mengajar anaknya ilmu silat.

DI BAWAH LINDUNGAN KA'BAH

Di Bawah Lindungan Ka'bah adalah roman karya Hamka. Roman atau novel ini sarat dengan agama Islam. Roman ini diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Balai Pustaka, tahun 1930.
      Roman atau novel ini, bercerita tentang kasih tak sampai karena perbedaan status sosial yang menyolok. Di dalam ceritanya itu disampaikan pesan-pesan moral dan ajaran agama, khususnya ajaran agama Islam. Roman ini berlatar Pedang panjang di Mekah.
      Tokoh-tokoh cerita ini adalah Hamid, pemuda yang berbudi luhur dan taat beragama. Ia adalah anak yatim dari sebuah keluarga miskin. Ia diangkat anak oleh Haji Jafar; Haji Jafar, seorang saudagar kaya yang berhati mulia; Asiah; istri Haji Jafar. Ia sangat berbudi luhur; Zaenab, anak Haji Jafar. Ia adalah gadis yang berhati mulia, taat kepada orang tua, dan selalu menjalankan perintah agama; Rosna; sahabat karib Zaenab. Dia juga berbudi luhur dan taat kepada ajaran agama; Saleh, sahabat karib Hamid yang berbudi luhur dan taat beragama. Dia suami Rosna.
      Seorang anak yatim yang miskin bernama Hamid diangkat anak oleh keluarga Haji Jafar. Haji Jafar adalah seorang yang kaya raya. Haji Jafar dan istrinya (Asiah), menganggap Hamid seperti anak sendiri. Hamid anak yang rajin, sopan, dan berbudi sehingga diperlakukan sama dengan anak kandung mereka, Zaenab.
      Hamid juga menganggap Zaenab sebagai adik kandungnya sendiri. Ia sangat menyayangi gadis itu dan selalu melindunginya. Zaenab pun menganggap Hamid seperti kakak kandungnya. Ia banyak bersama-sama dengan Hamid. Karena bersekolah di tempat yang sama, keduanya pergi dan bermain bersama. Ketika mereka beranjak remaja, dalam hati mereka mulai tumbuh perasaan lain, suatu perasaan yang selama ini belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Hamid merasa bahwa rasa sayangnya terhadap Zaenab bukan lagi perasaan sayang kepada adiknya. Demikian pula halnya dengan Zaenab.
      Setelah tamat dari sekolah rendah, Hamid melanjutkan sekolah ke Padang Panjang, sedangkan Zaenab tidak melanjutkan sekolahnya. Pada masa itu, wanita yang tamat sekolah rendah tidak dibolehkan meneruskan sekolahnya. Mereka dipingit untuk kemudian dinikahkan dengan pilihan orang tuanya. Zaenab pun dipingit oleh orang tuanya. Dengan berat hati, Hamid meninggalkan gadis itu.
      Selama di Padangpanjang, pemuda itu semakin menyadari perasaan cintanya kepada Zaenab. Perasaan rindu hendak bertemu dengan gadis itu semakin hari semakin menyiksa. Ia ingin selalu di dekatnya. Namun, ia tidak berani mengutarakan perasaan hatinya. Ia sadar adanya jurang pemisah yang sangat dalam diantara mereka. Zaenab berasal dari keluarga berada dan terpandang, sedangkan dia berasal dari keluarga miskin. Itulah sebabnya, rasa cintanya yang bergelora terhadap Zaenab hanya dipendamnya saja.
      Hamid harus benar-benar menguburkan perasaan cintanya kepada Zaenab ketika Haji Jafar, ayah Zaenab yang sekaligus ayah angkatnya, meninggal dunia. Tidak lama kemudian, ibu kandungnya pun meninggal. Betapa pilu hatinya ditinggal oleh dua orang yang sangat dicintainya. Kini dia merasa hidup sebatang kara. Ia merasa tidak lebih sebagai pemuda yatim piatu yang miskin. Sejak kematian ayah angkatnya. Hamid tidak dapat menemui Zaenab lagi karena gadis itu telah dipingit ketet oleh mamaknya.
      Hati Hamid semakin hancur ketika mengetahui bahwa Zaenab akan dijodohkan dengan pemuda yang memiliki hubungan kekerabatan dengan ayah angkatnya. Bahkan, Mak Asiah menyuruh Hamid untuk membujuk Zaenab agar menerima pemuda pilihan ibunya. Betapa hancur hati Hamid menerima kenyataan itu. Cinta kasihnya kepada gadis pujaan hatinya tidak akan pernah tercapai.
      Dengan berat hati, Hamid menuruti kehendak Ma Asiah. Dia menemui Zaenab dan membujuk gadis itu agar menerima pemuda pilihan mamaknya. Menerima kenyataan tersebut, hati Zaenab menjadi sangat sedih. Dalam hatinya, ia ingin menolak kehendak mamaknya, namun ia tidak mampu melakukannya. Maka dengan sangat terpaksa, ia menerima pemuda pilihan orangtuanya itu.
      Setelah kejadian itu, Hamid memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Ia tidak sanggup menanggung beban yang begitu berat. Dia meninggalkan Zaenab dan pergi ke Medan. sesampainya di Medan, dia menulis surat kepada Zaenab. Dalam suratnya, dia mencurahkan isi hatinya kepada gadis itu. Dari Medan, Hamid melanjutkan perjalanan menuju Singapura. Kemudian, dia pergi ke tanah suci Mekkah.
      Betapa sedih dan hancur hati Zaenab ketika ia menerima surat dari Hamid. Gadis itu tersiksa karena ia pun mencintai Hamid. Ia sangat merindukan pemuda itu. Namun, ia harus melupakan cintanya karena mamaknya telah menjodohkan dirinya dengan pemuda lain. Karena selalu dirundung kesedihan, Zaenab menjadi sering sakit-sakitan dan ia kehilangan semangat hidupnya.
      Hamid selalu gelisah karena menahan rindu kepada Zaenab. Untuk menghapuskan kerinduannya, dia bekerja pada sebuah penginapan milik seorang Syekh. Sambil bekerja, dia terus memperdalam agama Islam dengan tekun.
      Setelah setahun berada di Mekkah, Hamid bertemu dengan Saleh, seorang teman dari kampungnya sedang yang melaksanakan ibadah haji. Ketika itu Saleh menjadi tamu di penginapan tempat Hamid bekerja. Dari Saleh, Hamid dapat mendengar kabar tentang Zaenab. Sejak kepergiannya, gadis itu sering sakit-sakitan. Ia sangat menderita karena dia  menanggung rindu kepadanya. Ia juga mengetahui bahwa gadis itu tidak jadi menikah dengan pemuda pilihan ibunya.
      Mendengar penuturan itu, Hamid merasa sedih sekaligus gembira. Dia sedih sebab Zaenab dalam keadaan menderita batin. Di lain pihak, dia gembira sebab gadis itu ternyata mencintai dirinya. Artinya, dia tak bertepuk sebelah tangan. Sebab itu, Zaenab akan menjadi miliknya karena gadis itu tidak menjadi menikah dengan pemuda pilihan mamaknya. Setelah mengetahui kenyataan yang mengembirakan itu, Hamid memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya setelah ia menunaikan ibadah haji.
       Sementara itu, Saleh mengirim surat kepada istrinya yang isinya mengabarkan pertemuannya dengan Hamid. Ia menceritakan bahwa Hamid masih menantikan Zaenab, dan ia pun memberitahukan bahwa Hamid akan pulang ke kampung halamannya bila mereka telah selesai menunaikan ibadah haji.
      Rosna memberikan surat dari Saleh kepada Zaenab,. Ketika membaca surat itu, betapa gembiranya hati Zaenab. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan kekasih hatinya. Ia merasa tidak sabar lagi menanti kedatangan Hamid. Segala kenangan indah bersama pemuda itu kembali menari-nari dalam pikirannya. Semua perasaanya itu ia ungkapkan melalui surat kepada Hamid.
      Hamid menerima surat Zaenab dengan suka cita. Semangatnya untuk segera kembali ke kampung semakin menggebu-gebu. Dia sangat merindukan kekasihnya. Itulah sebabnya, dia memaksakan diri untuk tetap menunaikan ibadah haji sekalipun dalam keadaan sakit. Dia menjalankan setiap tahap yang wajib dilaksanakan untuk kesucian dan kemurnian ibadah haji dengan penuh semangat. Dalam keadaan sakit parah, ia melakukan wukuf di Padang Arafah, tubuhnya semakin melemah.
      Pada saat yang sama, Saleh mendapat kabar dari istrinya bahwa Zaenab telah meninggal dunia. Dia tidak ingin memberi tahu kabar itu kepada Hamid karena pemuda itu juga sedang sakit parah. Namun, Hamid mendesaknya untuk menceritakan isi surat tersebut.
      Mengetahui isi surat tersebut itu, Hamid sangat terpukul. Namun, karena keimanannya kuat, dia mampu menerima kenyataan pahit itu. Ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Alloh Swt. Keesokan harinya, dia tetap memaksakan diri untuk berangkat ke Mina. Namun, dalam perjalanannya, dia terjatuh, sehingga Saleh mengupah orang Baduy untuk memapahnya.
      Usai acara di Mina, mereka berdua berangkat ke Masjidil Haram. Ketika mereka selesai mengelilingi Ka'bah, Hamid meminta berhenti di Kiswah. Sambil memegang Kiswah itu, ia mengucapkan "Ya, Rabbi, ya Tuhanku Yang Maha Pengasih dan Penyayang," beberapa kali. Suaranya semakin melemah dan akhirnya berhenti untuk selama-lamanya. Hamid meninggal dunia di depan Ka'bah.

SUKRENI GADIS BALI

Sukreni Gadis  Bali termasuk salah satu karya dari sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Roman ini termasuk roman psikologis. Penulisnya adalah A.A. Panji Tisna. Pertama kali oleh Balai Pustaka diterbitkan pada tahun 1936. Roman ini menceritakan tentang masalah hukum karma. Setiap orang yang telah melakukan perbuatan jahat pasti akan mendapatkan ganjaran atas perbuatannya. Latar cerita adalah Bali (Karangasem, Buleleng) Tokoh-tokoh cerita ini adalah Ni Sukreni atau Men Widi; anak Men Negara dari I Nyoman Raka; Men Negara; wanita pemilik kedai. Ibu dari Men Negari, I Negara, Ni Sukreni; Men Negaeri dan I Negara; saudara tiri Ni Sukreni; I Gusti Made Tusam; seorang mentri polisi yang sangat ditakuti; Ida Gde Swamba; pemuda yang berbudi luhur yang mencintai Sukreni; I Made Aseman; anak buah I Gusti Made Tusam; Si Kebal alias I Gustam; anak Sukreni ketika ia diperkosa oleh Made Tusam.
      Suatu hari Men Negara bertengkar hebat dengan suaminya I Nyoman Raka sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan suaminya dan Men Widi, bayi perempuan yang baru berusia delapan bulan di Karangasem menuju Buleleng. Di kota ini, ia bekerja di perkebunan luas milik seorang Haji. berat kerja kerasnya, ia mampu memiliki kebun sendiri. Di kota ini pula ia melahirkan dua orang anak yang bernama Men Negari dan I Negara.
      Men Negara membuka sebuah kedai makanan dan menyuruh Men Negari untuk menjaga kedai itu agar pemetik kelapa yang tertarik kecantikan Men Negari akan singgah di kedai mereka. Salah satu pengunjung kedai mereka adalah I Gde Swamba, seorang pemilik kebun kelapa yang sangat tampan. Men Negara sangat menginginkan agar I Gde Swamba menjadikan Men Negari sebagai istrinya. Demikian pula halnya dengan Men Negari.
      Pada suatu hari kedai mereka didatangi oleh I Gusti Made Tusam, seorang mantri polisi yang sangat ditakuti dengan ditemani oleh anak buahnya yang bernama I Made Aseman. Ketika dua orang itu sedang menantikan pesanan makanan. I Made Aseman melihat Men Negara sedang memotong seekor babi. Pemuda itu melaporkan perbuatan Men Negara dengan harapan agar atasannya memenjarakan wanita itu di Singaraja sehingga para pelanggan kedai makanan miliknya akan beralih ke kedai makanan milik iparnya. Namun, harapannya itu sia-sia karena tutur kata dan kecantikan Men Negara mampu melunakkan hati I Gusti Made Tusam sehingga ia terbebas dari hukuman penjara. Pad saat itu, I Gde Swamba dan para pemetik kelapa juga sedang berada di kedai makanan mereka. Tiba-tiba, seorang gadis cantik yang bernama Ni Sukreni mendatangi I Gde Swamba dan meminta pertolongan pemuda itu untuk menyelesaikan masalah warisan kakaknya.
      Kecantikan Ni Sukreni membuat Men Negara dan Men Negari merasa iri kepadanya. mereka tidak menyukai bila gadis itu berhubungan dengan I Gde Swamba. Ketika mengetahui bahwa I Made Tsuman tertarik ingin menjadikan gadis itu sebagai simpanan, mereka sangat mendukungnya. Maka, ketika Ni Sukreni mendatanga kedainya untuk kedua kalinya, Men Nagara menyuruhnya untuk menginap di rumahnya. Pada saat itu juga I Made Tsuman mendatangi rumah Men Nagara dan memperkosa gadis itu. Namun, tak lama kemudian Men Negara sangat menyesali perbuatannya setelah ia mengetahui bahwa Ni Sukreni adalah anak kandungnya sendiri. I Nyoman Raka, suaminya, telah mengganti nama Men Widi menjadi Ni Sukreni agar ia tadak mengenalinya. Ia mengetahui hal itu dari I Negara yang menjalin hubungan dengan Sudana, teman seperjalanan Ni Sukreni. 
       Akibat perkosaan itu, Ni Sukreni melahirkan seorang bayi laki-laki yang ia berinama I Gustam. Wanita itu tidak berani pulang ke kampung halamannya. Ketika ia berada dalam kesedihan yang mendalam, ia bertemu dengan i Gde Swamba yang menyatakan kesedihannya untuk menolong dirinya dan membiayai anaknya. 
       Di kemudian hari, I Gustam tumbuh menjadi kepala perampok yang sangat ditakuti oleh anak buahnya. Ketika ia hendak merampok kedai Men Negara, ia harus berhadapan dengan I Made Tusam yang telah mengetahui rencana perampokan itu. ketika I Made Tusam hendak memancung kepala I Gustam, I Made Aseman memberitahukan bahwa I Gustam adalah anaknya. Namun, semua itu telah terlambat karena tak lama kemudian I Made Tusam pun roboh dan ia pun mati. Kedua orang yang bertalian darah itu mati pada saat itu juga.

Wisran Hadi

Penulis ini lahir di Padang,tanggal 27 Juli 1945. Menyelesaikan pendidikan di STSR-ASRI Yogya (1969). Tahun 1977/1978 ia mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS.
      Drama-drama berkali-kali (12 naskah drama) memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ dari tahun 1975-1998: tahun 1975 Hadiah ke Ketiga untuk Gaung, tahun 1976 Hadiah Harapan untuk Ring, tahun 1977 Hadiah Harapan untuk Cindera Mata, tahun 1978 Hadiah kedua untuk Perguruan dan Hadiah Harapan untuk Malin Kundang, dan tahun 1985/1986 Hadiah ketiga untuk Penyebrangan serta Hadiah Perangsang untuk Senandung Semenanjung. Tahun 1991, ia memperoleh penghargaan Hadiah Sastra dari Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud untuk dramannya yang berjudul Jalan Lurus. Pada pertemuan Sastrawan Nusantara 1977, Jalan Lurus ini dijadikan sebagai buku drama terbaik. Dramanya yang lain: Puti Bungsu (1978), Anggun Nan Tongga (1982), dan Empat Sandiwara Orang Melayu (2000), dan Empat Lakon Perang Paderi (2003). Kumpulan sajaknya: Sumalakama (1975). Novelnya: Tamu (1996), Imam (2001) dan Simpang. Kumpulan cerpennya Daun-daun Mahoni Berguguran (2000)
      Tahun 2000 Wisran Hadi menerima Hadiah Sastra ASEAN. Ia diundang sebagai dosen tamu mengajarkan drama modern dan drama tradisional Minangkabau pada Akademi Seni Kebangsaan,Kuala Lumpur, Malaysia (2001). Wisran hadi terpilih sebagai salah satu seniman yang memenangkan penghargaan dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003

DJENAR MAESA AYU

Penulis ini dilahirkan di Jakarta, 14 Januari 1973.Setelah cerpennya yang berjudul Lintah dimuat Harian Kompas pada tahun 2001, karya-karya cerita pendeknya terus mengalir. Kumpulan cerpennya berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet (2002). Kumpulan cerpen ini akan diterbitkan ke dalam bahasa inggris (They Say, I'm Mongkey) oleh Penerbit Metafor. Cerpennya yang berjudul Waktu Nayla terpilih menjadi cerpen terbaik pilihan Harian Kompas untuk tahun 2003. Judul cerpennya tersebut sekaligus menjadi judul buku cerpen pilihan Kompas 2003. Kumpulan cerpennya yang lain Menyusu Ayah terpilih sebagai cerpen terbaik Jurnal Perempuan tahun 2002.

GERSON POYK

Penulis ini dilahirkan di Namodele, Pulau Rote (Timor), tanggal 16 Juni 1931. Pendidikan terakhir: SGA Keristen Surabaya (tamat 1956). Pernah menjadi guru SMP dan SGA di Ternate (1956-1958) dan di Bima, Sumbawa (1958), dan terakhir wartawan Sinar Harapan (1962-1970). Tahun 1970/1971, ia mengikuti Internasional Writing Program di Universitas Iowa , Iowa City, AS, dan tahun 1982 mengikuti seminar sastra di India.
      Cerpennya, "Mutiara di Tengah Sawah' mendapat Hadiah Hiburan Sastra tahun 1961, dan cerpennya yang lain, "Oleng-Kemoleng", mendapat pujian dari redaksi majalah Horison untuk cerpennya yang dimuat dimajalah itu tahun 1968. Karyanya yang berupa novel adalah Hari-Hari Pertama (1968), Sang Guru (1971), Cumbuan Sabana (1979), Giring-Giring (1982). Karya kumpulan cerpennya adalah Matias Akankari (1975), Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Rajagukguk (1975), Nostalgia Nusatenggara (1976), Jerat (1978), Di Bawah Matahari Bali (1982), Mutiara di Tengah Sawah (1984), Impian Nyoman Sulastri dan Hanibal (1988), dan Poli Woli (1988). Tahun 1985 dan 1986 Gerson Poyk menerima Hadiah Adinegoro. Ia pernah menerima Hadiah Sastra ASEAN pada tahun 1989.

ABDULLAH BIN ABDULKADIR MUNSYI

Seorang sastrwan dan pengarang terkemuka di Tanah Melayu. Ia juga menjadi guru bahasa Melayu untuk sejumlah orang asing. Salah satu muridnya adalah Sir Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris yang pernah berkuasa di Singapura.
      Ia menguasai banyak bahasa, antara lain bahasa Hindustan, Tamil, Cina, Kanton, Arab dan Inggris. Buku-buku hasil karyanya, terutama mengenai biografi dirinya antara lain Hikayat Abdullah Bin Abdulkadir Munsyi, Pelayaran Abdullah, dan Hikayat Melayu.
      Menurut ukuran zamannya, tulisan-tulisannya merupakan reportase yang baik. Dengan teliti dan cermat, ia menyusun semua pengalaman dan apa yang dilihatnya dalam bahasa Melayu yang baik menurut ukuran masa itu, hingga dikagumi dan dijadikan acuan dalam bahasa Melayu.

A. MUSTOFA BISRI

Penulis ini dilahirkan tanggal 10 Agustus 1944. Ia pernah menjadi santri di Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Krapyak Yogyakarta, dan Pesantren Raudlatut Thalibien Rembang. Ia juga pernah memperdalam pengetahuan di Universitas Al-Azhar, Kairo. Kini ia mengasuh santri  di Pesantren Raudlatul Thalibien Rembang.
      A. Mustofa Bisri menulis sajak dan cerita pendek. Kumpulan sajaknya: Ohoi: Kumpulan Puisi Balsem (1991), Tadarus (1993), Pahlawan dan Tikus (1995), Rubaiyat Angin & Rumput (1995), Wekwekwek: Sajak-Sajak Bumilangit (1996), dan Sajak-Sajak Cinta Gandrung (2000). Salah satunya cerpennya dimuat dalam Waktu Nayla (Kumpulan Cerpen Kompas 2003). Disamping penyair, beliau dikenal juga sebagai pelukis.

TANPA NAMA DOMBA-DOMBA REVOLUSI

Domba-domba Revolusi merupakan karya B. Soelarto yang terbit tahun 1964. Permasalahan yang ditampilkannya adalah tentang orang-orang yang mengikuti perjuangan karena memiliki maksud tersembunyi yang tidak terkait dengan upaya untuk membela tanah air dan bangsa. Seting ceritanya sekitar tahun 1948. Tokoh-tokohnya, antara lain: Pedagang, seseorang yang ikut hijrah karena ingin menagih utang kepada pemimpin pasukan republik, Profesor Tabib, seseorang yang menyuplai obat-obatan; Wanita pemilik losmen, seorang wanita, ibu tiri penyair; Penyair, anak tiri pemilik losmen. Ia gugur dalam membela tanah airnya.
      Tentara republik pertahanan di kota tengah di sebuah losmen sederhana ketika mereka bermaksud melarikan diri ke kota selatan. Tentara musuh telah mengetahui rencana keberangkatan mereka ke kota utara dan melakukan penyerangan kepada mereka. Pihak musuh belum merasa puas sebelum berhasil menghancurkan tentara republik sampai ke akar-akarnya.
      Dalam losmen tersebut terdapat seorang wartawan, penyair dan pasukan Gagak Lodra yang bertugas menjaga ketiga orang penting dalam tentara republik, seorang profesor yang bernama Tabib, dan seorang pedagang yang banyak membantu perjuangan tentara republik dengan menyuplai bahan makanan kepada anggota tentara republik. Sebenarnya, ia bukanlah pejuang dan bukan pula pembela tentara republik. Tujuannya mengikuti rombongan tentara Republik adalah untuk menagih utang sebesar dua juta kepada pimpinan pasukan yang berjanji akan membayarkan bila mereka telah sampai di kota selatan. Demikian pula halnya dengan Profesor Tabib yang bertugas menyediakan obat-obatan bagi pejuang tentara republik. Namun, keduanya tidak berhasil tiba di kota selatan karena tewas terbunuh. Pedagang itu mati tertembak peluru musuh atas fitnah dan pengkhianatan yang dilakukan oleh Profesor Tabib dan sang Profesor pun mati dibunuh oleh wanita pemilik losmen, setelah sang Profesor bermaksud memperkosa dirinya.
      Wanita pemilik losmen itu ternyata adalah ibu tiri sang penyair. Pertemuan tak terduga itu menimbulkan benih-benih cinta diantara keduanya, namun mereka tidak dapat bertemu lebih lama karena wanita pemilik losmen itu kemudian mati bunuh diri dengan keris pusakanya sendiri, sedangakan si penyair mati tertembak peluru musuh ketika ia berusaha mempertahankan bangsanya.

BURUNG-BURUNG RANTAU

Novel karya Y.B. Mangunwijaya, diterbitkan pertama kali oleh Gramedia Pustaka Utama, tahun 1992; cetakan kedua: mei 1993. Novel ini terutama ditulis untuk kaum intelektual dan generasi muda terpelajar yang semakin merasakan proses globalisasi dengan segala kesempatan emasnya,namun juga dengan bermacam konflik kultular di dalam diri mereka. Novel ini bersifat epik, yang mengolah persoalan-persoalan kebangsaan, bukan hanya kisah dunia kecil individual.
      Kendati demikian, gaya ceritanya ringan, dibuat santai menarik, penuh informasi dan humor. Novel ini merupakan analisis yang mengandung filsafat hidup yang berkaitan dengan persoalan budaya manusia Indonesia generasi baru, yang secara mental-spiritual sebenarnya sudah merantau melampaui  karena batas-batas nasional. Oleh karena itu, latar-peristiwa tidak hanya di Jakarta, melainkan juga di Eropa, Yunani, Swiss (sebagai representasi Dunia Barat), di India (Dunia Timur), serta di kepulauan Banda.
      Dalam novel ini tersaji pertempuran-pertempuran pikiran dan citarasa dalam keluarga Letnan-Jenderal Wiranto, mantan duta besar, Komisaris Bank Pusat Negara, generasi gerilyawan 1945, dengan panca-putra-putri pasca kemerdekaannya. Yang Sulung, Ny.Anggraeni, wanita karier, janda kaya raya. Yang kedua, Dr. Wibowo,pakar fisika nuklir dan astro-fisika di labolatorium internasional CERN di Jenawa. Adiknya, Letnan Kolonel Candra, intruktur pesawat-pesawat pemburu jet Madiun. Yang bungsu, Edi, sayang almarhum masih muda, korban dari dunia morfin-heroin, pemuda amat tersayang oleh kakaknya, Marineti,sarjana antropologi dan sosiawati penuh idealisme di kampung kumuh; gadis bandung-binal, yang selalu berselisih paham, berbeda pendapat melawan ibunya, Yuniati, yang berdarah Solo-Manado, dan cantik energik, tetapi kurang peka humor.

RINTIHAN BURUNG KEDASIH

Novel karya Pandir Kelana, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 1992, tebal 402 halaman. Di bawah judul novel ini tercantum subjudul: Sebuah Roman Revolusi '45; 1948/49. Novel ini pertama kali terbit tahun 1984. Dalam roman ini diceritakan bahwa Kerajaan Belanda tidak merasa terikat lagi dengan Persetujuan Renville, yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Dengan memanfaatkan keadaan dalam negeri Republik Indonesia yang sedang menumpas pemberontakan PKI-Madium, pasukan-pasukan Kerajaan Belanda menyerbu masuk kedalam wilayah Republik Indonesia. 
      Empat orang pemuda, Handoyo, Jayadi, Hidayat dan Musa yang semuanya berpangkat letnan TNI sedang dalam perjalanan dari Yogya menuju daerah penugasannya di Karesidenan Pati, ketika pihak Belanda menyerbu. Mereka masih sempat menyaksikan bumi hangus kilang dan sumber-sumber minyak di Cepu. Set serangan Biba kembali di daerah tugas masing-masing langsung mereka menyiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi serangan Belanda. 
      Melalui novel Rintihan Burung Kedasih, pembaca diajak ikut menghayati peristiwa Perang Rakyat Semesta yang sangat kompleks itu. Perang Rakyat Semesta atau lazim dinamakan Perang Gerilya, tidak hanya melibatkan pejuang-pejuang bersenjata, tetapi juga menggalang kekuatan seluruh rakyat yang cinta kemerdekaan.
      Berkat satunya tekad dan upaya rakyat, pemerintah, dan kekuatan bersenjata, akhirnya pihak Belanda harus mengakui keunggulan perjuangan bangsa Indonesia dalam menegakkan kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

search

About

Seluk Beluk Sastra