TRISNOYUWONO

Penulis cerpen dan novel ini lahir di Yogyaykarta,tanggal 12 November 1925, meninggal di Bandung, 29 Oktober 1996. Pendidikan terakhirnya adalah SMA (1947). Ia pernah menjadi anggota Pasukan 40 Tentara Rakyat Mataram di Yogya (1946), Korps Mahasiswa di Magelang Jombang (1947-1948), TNI Divsi Siliwangi (1950-1953). Tahun 1949 dipenjarakan di Ambarawa selama 10 bulan, tetapi berhasil melarikan diri ketika dirawat di RSU Semarang. Ia pun pernah menjadi redaktur Cinta (1955), redaktur harian Pikiran Rakyat, dan Direktur Penerbit Granesia di Bandung.
      Ia pernah menulis cerpen di Majalah Kisah pada tahun (1953-1956). Karya-karyanya penuh ketegangan dengan latar masa revolusi dan kehidupan dilingkungan militer. Aspek kemanusiaan sangat menonjol dalam karyanya, terutama kisah mengenai korban perang dan akibat yang ditimbulkan oleh perang bagi rakyat. Cerpennya, "Tingul", mendapat Hadiah Pertama majalah Kisah tahun 1956; kumpulan cerpennya, Laki-laki dan Mesiu (1957), Mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957/1958; sedangkan novelnya, Pagar Kawat Berduri (1961), memperoleh Hadiah Sastra Yayasan Yamin tahun 1964 (tahun 1963 novel ini difilmkan Asrul Sani).Karyanya yang lain: Angin Laut (kumpulan cerpen, 1958), Di Medan Perang (kumpulan cerpen, 191962), Bulan Madu (novel, 1962), Kisah-Kisah Revolusi (1965), Biarkan Cahaya Matahari Membersihkan Dulu (1966), Surat-Surat Cinta (novel, 1968), Peristiwa-Peristiwa Ibukota Pendudukan (1970), dan Petualang (novel, 1981). Di samping pengarang dan wartawan, Trisnoyuwono juga dikenal sebagai penerjun payung.

Danarto

Sastrawan dan pelukis Indonesia terkemuka. Selain penulis cerpen,drama dan novel, Danarto juga terkenal sebagai pelukis. Ia lahir di Mojowetan,Sragen( Jawa Tengah),tanggal 27 Juni 1940. Saat ini ia adalah dosen Institut Kesenian Jakarta (sejak 1973). Lulusan ASRI Yogyakarta (1961) Ia pernah aktif dalam Sanggar Bambu Yogyakarta (1959 - 1964), kemudian ikut mendirikan Sanggar Bambu Jakarta. Ia juga pernah menjadi redaktur majalah Zaman ( 1979-1985). Tahun 1976 mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa,Iowa City, AS dan tahun 1983 menghadiri Festival Penyair Internasional di Rotterdam. 
     Cerpennya '' Rintik ", mendapat Hadiah Horison tahun 1968,yang bersama cerpen-cerpennya yang lain kemudian dihimpun dalam Godlob (1976). Kumpulan cerpennya Adam Ma'rifat (1982), meraih Hadiah  Sastra DKJ 1982 dan menggondol Hadih Yayasan Buku Utama Departemen P & K tahun 1982. Kumpulan cerpennya yang lain Berhala (1987), mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K tahun 1987. Karyannya yang lain : Obrok Owok-Owok,Ebrek Ewek-Ewek (drama,1976), Bel Gedueh Beh (drama 1976),Orang Jawa Naik Haji (1984), Asmaraloka (novel 1999), dan Setangkai Melati di Sayap Zibril (kumpulan cerpen 2001). 
      Cerpen-cerpennya di Inggriskan oleh Harry Aveling dalam buku Abracadabra (Singapura 1978), Cerpennya yang lain dimuat dalam antologi cerpen terjemahan Harry Aveling (ed.),From Surabaya to Armagedonn (Singapura 1976). Tahun 1988 ia mendapat Hadiah Sastra ASEAN.
      Studi/kajian mengenai karya Danarto dilakukan oleh Siti Sundari Tjitrobusono dkk. dengan judul Memahami Cerpen-cerpen Danaro (1985) dan Th. Sri Rahayu Prihatmi, Fantasi dalam Kumpulan Cerpen Danarto : Diaolg antara Dunia Nyata dan Tidak Nyata (1989).

Dick Hartoko

      Penulis ini dilahirkan di Jatiroto, Jawa Timur, tanggal 9 Mei 1922. Dick Hartoko meninggal di Semarang tanggal 1 September 2001 dan dimakamkan di Ungaran Jawa Tengah. Nama asli Dick Hartoko adalah Theodorus Gelorp. Ia menempuh pendidikan di Ignatius College Yogyakarta dan Pendidikan Guru dan Pendidikan Theologia di Belanda.
      Dick Hartoko menjadi pemimpin umum/penanggung jawab majalah Basis selama 30 tahun (1965-1995). Namanya semakin mencuat karena rubrik "Tanda-tanda Zaman" yang diasuhnya dan sekaligus sebagai penulis rubrik ini. Rubrik "Tanda-tanda Zaman" sangat terkenal karena isinya merupakan tulisan-tulisan Dick Hartoko yang menuangkan kegelisahan "budaya" di tengah-tengah berbagai himpitan yang menenggelamkan kebudayaan itu sendiri. Dari tulisan-tulisan di Rubrik ini, sebagian pengamat menilai Dick Hartoko sangat humanis. Ia pernah menjadi dosen IKIP Sanata Dharma (sejak 1958), Fakultas Sastra UGM, STSRI-ASRI Yogya, dan Fakultas Sastra UI 9sejak 1983).
      Karyanya: Saksi Budaya (kumpulan esai, 1975), Tanah Airku dari Bulan ke Bulan (kumpulan esai, 1983), Manusia dan Seni (studi/kajian, 1984), Kamus Populer Filsafat (1986), Pemandu Di Dunia Sastra (bersama B. Rahmanto, 1986), dan Tonggak Perjalanan Budaya (kumpulan esai, 1986). Terjemahannya: Ariadne (drama, Hella S. Haasse, 1966), Taman Kate-Kate (novel, Maria Darmout, 1975), Strategi Kebudayaan (karya C.A. van Peursen, 1976), Salah Satu Hidup Orang Jawa (kaya S. de Jong, 1977), Mentalitas Jawa dan Pembangunan (karya Niels Mulder, 1978), Orientasi Di Alam Filsafat (karya C.A. van Peursen, 1980), Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (karya P.J. Zoetmulder, 1983), dan Pengantar Ilmu Sastra (karya Jan van Luxembung, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijin, 1984).
      Selain itu, ia juga menjadi editor Bianglala Sastra (bunga rampai, berdasarkan karya Rob Nieuwenhuys, Oost Indische Spiegel, 1979), Golongan Cendikiawan: Mereka yang Berumah di Atas Angin (kumpulan esai, 1980), dan Memanusiakan Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan Humaniora (kumpulan esai, 1985). Tahun 1987, Dick Hartoko menerima Lempad Prize (Hadiah Lempad) dan tahun 1988 menerima Hadiah Seni dari Pemerintah Yogyakarta.

Asmara Hadi

      Nama asli pengarang ini adalah Abdul Hadi. Ia menggunakan beberapa nama dalam tulisannya yaitu Asmara Hadi, Ipih, Hadi Ratna, Ipih A. Hadi. Selain berkecimpung dalam dunia sastra ia juga aktif dalam jurnalistik. Penulis ini dilahirkan di Bengkulu, tanggal 8 September 1914, meninggal di Bandung, 3 September 1976. Pendidikan terakhir: Sekolah Menengah Tamansiswa Bandung. Ia pernah menjadi pembantu dan redaktur harian Pikiran Rakyat, majalah Tujuan Rakyat, majalah Pelopor Gerindo, dan majalah Pujangga Baru.
      Ia juga aktif dalam kegiatan politik, antara lain dalam Partindo, dan terakhir anggota Konstituante dan anggota MPRS (sampai 1966). Beberapa kali masuk penjara: 1934-1935, 1937, 1938, 1939, (bersama Amir Sjaripuddin), dan 1941. Pengalamannya selama di penjara dituliskannya dalan buku Di Belakang Kawat Berduri (1941). Sejumlah sajaknya yang tersebut di berbagai majalah dikumpulkan oleh U.J. Nasution dalam Asmara Hadi Penyair Api Nasionalisme (1965). Selain itu, sejumlah sajaknya dimuat dalam S. Takdir Alisjahbana (ed.), Puisi Baru (bunga rampai, 1946), dan H.B. Jassin (ed.), Pujangga Baru: Posa dan Puisi (bunga rampai, 1963), dan dalam Linus Suryadi AG (ed.), Tonggak 1 (bunga eantai, 1997).

FIRA BASUKI

      Lahir di Surabaya, tanggal 7 juni 1972 dengan nama lengkap Dwifira Maharani Basuki. Selepas dari SMU Regina Pacis, Bogor di tahun 1991, ia meneruskan studi Jurusan Antropologi, Universitas Indonesia, sebelum akhirnya setahun kemudian di transfer ke Jurusan Communication-Journalism di Pittburg State University, Pittsbrug-Kansas, USA. Di musim panas 1995, ia lulus dengan gelar Bachelor of Arts. Selanjutnya, selama musim panas hingga musim gugur 1995 ia meneruskan studi master di Jurusan Communication-Public Relation, Pittsburg State University. selama musim semi hingga musim panas 1996 ia melakukan studi di bidang yang sama di Wichita State University.
      Selama di SMU, ia pernah menjuarai berbagai lomba menulis, yang diselenggarakan oleh beberapa majalah, antara lain: Tempo dan Gadis. Ia juga mengikuti lomba yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional), LIPI, dan FISIP-UI. Ia pernah bekerja di majalah Dewi. Ia juga pernah menjadi kontributor pada beberapa media asing seperti Sunflower, Callegia, dan Morning Sun (ketiganya di Kansas, USA). Dunia broadcast juga pernah dirambahnya, antara lain sebagai anchorlhost pada CAPS-3TV, pittsburg, Kansas.Sekarang ia tinggal di Singapura, bekerja sebagai part-time presenter pada radio Singapore International sekaligus sebagai kontributor majalah Harper's Bazaar-Indonesia. Novel pertamanya, Jendela-Jendela, telah dicetak ulang dalam lima bulan pertama. Setelah Jendela-Jendela, Fira menerbitkan novel keduanya Pitu (2002). Tahun 2003 terbit pula novelnya yang ketiga Atap dan novel Biru.

EKA BUDIANTA

      Nama lengkapnya adalah Christophorus Apolinaris Eka Budianta. Ia dilahirkan di Ngimbang, Jawa Timur, tanggal 1 Februari 1956. Setelah menamatkan SMA jurusan Budaya di Malang (1974), melanjutkan studi ke Fakultas Sastra UI (mula-mula Jurusan Kesusastraan Asia Timur, kemudian Jurusan Sejarah; 1975-1979 ; tidak tamat). Terakhir mengikuti pendidikan di Jurusan Jurnalistik Los Angeles Trade-Technical College, AS (1980-1981; tidak tamat).
      Ia pernah menjadi wartawan Tempo (1980-1983), dosen bahasa pada Cornell University di Ithaca, New York, koresponden koran Jepang Yomiun Shimbun (1984-1986), asisten pada Kantor Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIC), Jakarta (1987), dan penyiar BBC London (1988-1991).
      Tahun 1987 Eka Budianta memperoleh Ashoka Fellowship dan tahun 1987 mengikuti International Writing Program di Iowa City, AS.
      Kumpulan sajaknya, Sejuta Milyar Satu (1984), mendapat pujian dari Dewan Juri Hadiah Sastra Hadiah Sastra DKJ 1984. Kumpulan sajaknya yang lain: Ada (1976), Bel (1977), Rel (1978), Sabda Bersahut Sabda (Bersama Azmi Yusoff, 1978), Lautan Cinta (1986), Rumahku Dunia (1993), dan Masih Bersama Langit (2000). Kumpulan cerpennya: Api Rindu (1987).

Lihat beberapa Puisinya

REQUEST

Bagi kalian para Pecinta Sastra yang barangkali memiliki ide, saran ataupun permintaan untuk menghadirkan pembahasan, materi atau apapun itu yang berhubungan dengan dunia kesusastraan Indonesia. Silahkan kirimkan ide,saran,ataupun permintaan kalian pada kolom komentar di bawah ini.

PUISI ABDUL WACHID B.S


 
 Rani yang Bertanya

Rani yang masih di kamarnya
Rani yang masih di mimpi kanaknya
Rani yang tak biasa di pagi harinya
Rani yang jalan-jalan di imajinasinya

Rani,
Tatkala bumi bagai dalam ayakan Tuhan
Pohon-pohon belakang rumahmu 
cemas hempaskan tubuhnya
Tak lagi kuasa kuatkan akar-akarnya
Lintang-pukang orang-orang di bawahnya

Bagai dalam ayakan Tuhan
Tembok-tembok mengombak naik-turun
Rani, 
Rumah-rumah seperti roti kering yang kau ledakkan
Di tanganmu. Lintang-pukang kurcaci menghindarinya

Rani yang dalam dekapan ibunya
Rani yang amat sangat ketakutan
Rani yang masih balita itu tengadahkan tangan
Rani yang bertanya
"Tuhan, apakah Engkau sungguh marah hari ini?"

               Jambidan, Yogyakarta, 27 Mei 2006


          Wonokromo

Silaturrahmi ke Wonokromo
Desa santri yang mengaji
Ada rumah kekasih yang tersembunyi
Sejarah masjid yang "Hamengkubuwono"

Ada pertemuan dua sungai
Di sikunya masjid itu hijau kebiruan
Ada makam di baratnya bila kulewati
Selalu kusampaikan salam pertemuan

Aku masih mendengar lantun
Gadis kecil menderaskan al-Qur'an
Entah di pesantren Gus Fuad atau Gus Katip
Kucari-cari suaranya seperti meratap

Lalu tertimpa gelak-girang para bocah
Di sore itu di halaman masjid hijau kebiruan itu
Aku masih mendengar larangan masuk rumah
Dari lelaki tua yang diabaikan itu

Tapi paginya setelah gempa luluhlantakkan
Rumah dan pesantren-pesantren
Orang-orang baru membaca tanda
Aku masih mendengar doanya 

Dalam kalimat adzan
Kepada shalat kepada kebaikan
Aku masih mendengar doanya 
Sekuntum melati di antara debu dan serakan batu bata

Silaturrahmi ke Wonokromo
Kucari-cari rumah kekasih yang tersembunyi
Kucari-cari suaranya semakin sayup menyepi
Ternyata rumah hatiku pun telah poranda

          Wonokromo, Yogyakarta, 4 Juli 2006


          Hujan Begitu Baik

ya. hujan begitu baik mencucikan yogya
dari debu, yang ranggaskan daun jambu
depan rumah kekasihku
dari diriku, yang mandi setiap hari
tapi tak juga sampai wangi surgawi

hujan mengendapkan debu
mengisi pori-pori tanah
lalu tertampung di dalam hati
menjadi harapan dan keyakinan
kekasih menari-nari di dalam pandangan 

hujan menjelma panorama ajaib
dalam mata yang saling mencari dan menunggu
dan mengajakku memutar arloji
ketika ibu mendekapku di jendela
dan aku bertanya
"ibu, di mana bidadari sang kekasih itu?"
jawab ibu, "di saat hujan, ucapkanlah doa
sebab bidadari bertaburan dari langit itu
ditemani malaikat, akan memunguti doa-
doamu, agar lebih cepat sampai
pada perkenan Tuhan"

ya. hujan begitu baik menari-nari di daun jambu
di bawahnya sebuah halte yang
pasca gempa atapnya tinggal separoh
ternyata di halte itulah kekasihku 
mencari dan menunggu dan mau membeku
hujan senantiasa tergoda padanya
hujan tak kuasa menahan rasa, bahkan
hujan telah basah mendekapnya
sampai membirukan bibirnya
ketika aku sampai padanya, hujan terkesima
dan kekasihku pun malu-malu 
dan bertanya
"mengapa engkau begitu lama
sehingga aku melulu menjadi debu di halte ini?"

                              November, 2007

          Segoroyoso

Mengapa dusun ini diberi nama Segoroyoso?
Padahal dilingkari pegunungan kapur selatan
Dan di sebaliknya suara ombak laut selatan
Tapi gedebur menggema ini dari dalam bumi

Di malam menambah bayang-bayang kematian itu
Tiap gedebur menggema ini dari dalam bumi
Kentongan sahut bersahutan menambah pilu
Seluruh rumah dan nisan telah rata dengan debu
Mengapa dusun ini diberi nama Segoroyoso?
Melewatinya seperti berdiri di atas perahu
Bergoyang batin, bergelombang hari-hari kau aku
Angin dan debu semakin selimuti tenda-tenda itu

                    Yogyakarta, 5 Juli 2006


          Puncak Cinta

Rindu memang selalu sakit
Tapi pertemuan cinta akan mengobati

Puncak cinta adalah kerinduan
Karenanya kita bisa maknai
Harap-harap cemas
Pada kekasih yang dicintai

Karena cinta kita mengenali diri
Betapa aku membutuhkanmu
Kuhayati jatuh-bangunnya hatiku
Dalam mencintaimu

Tapi kunikmati saja kesakitanku
Karena merindukanmu
Seperti kurasakan nikmatnya cinta
Yang telah kucecap dari lidah hatimu

               Warungboto, Yogyakarta, 27 Juni 2006  

PUISI EKA BUDIANTA





Kenangan Pramoedya



Kamu mencintai tulang dan pori-pori
Bumi kelahiranmu dan semua bangsa
Para korban kebodohan yang terlupa


Tetapi ketika kautulis kebenaran
Kamu dijebloskan ke penjara
Buku-buku dan pembacamu teraniaya


Akan kukenang Pramoedya
Dengan seluruh keangkuhan saudaraku
Yang tidak sanggup memahami & mencintaimu


Di langit hatiku hujan telah reda
Tinggal namamu tertulis dan bersinar
Menagih cintaku pada bumi manusia

      (2006)


Perjalanan Sungai 
     (1)

Sungai yang dulu menangis
Di antara batu-batu di pegunungan
Sekarang telah sampai di kota
Dan akan terus menuju ke laut


Tak lagi terdengar derai air terjun
Udara sejuk, nyanyian burung, semerbak bunga
Telah berganti panas terik dan polusi
Sampah, minyak bekas, ikan-ikan mati


Tapi aku terus mengalir
Menyilakan kapal-kapal berbeban berat
Masuk dari muara
Menyambut hangat hempasan ombak dunia


      (2)

Sungai-sungai kecil, sungai-sungai besar
Bergelora dalam hidup singkat ini
Pegunungan dan air terjun memanggil
Burung-burung mencicit
Menyulut awan putih
Menjadi lautan menyala
Menyepuh nama-namamu


Kota-kota kecil, kota-kota besar
Gemuruh dalam sunyi hati
Burung-burung menyayat sungai
Mengalirkan cinta
Di ambang usia saat butir-butir pohon
Menunggu undangan dari langit yang kekal

      (2003)

Sebelum Laut Bertemu Langit

Seekor penyu pulang ke laut
Setelah meletakkan telurnya di pantai
Malam ini kubenamkan butir-butir
Puisiku di pantai hatimu
Sebentar lagi aku akan balik ke laut.

Puisiku - telur-telur penyu itu-
mungkin bakal menetas
menjadi tukik-tukik perkasa
yang berenang beribu mil jauhnya
Mungkin juga mati
Pecah, terinjak begitu saja

Misalnya sebutir telur penyu
menetas di pantai hatimu
tukik kecilku juga kembali ke laut
Seperti penyair mudik ke sumber matahari
melalui desa dan kota, gunung dan hutan
yang menghabiskan usianya

Kalau ombak menyambutku kembali
Akan kusebut namamu pantai kasih
Tempat kutanamkan kata-kata
yang dulu melahirkan aku
bergenerasi yang lalu 

Betul, suatu hari penyu itu
tak pernah datang lagi ke pantai
sebab ia tak bisa lagi bertelur
Ia hanya berenang dan menyelam
menuju laut bertemu langit
di cakrawala abadi

     Jakarta, 2003

Abdul Hadi W.M

      Di samping sebagai penyair, Abdul Hadi WM dikenal sebagai penerjemah, wartawan dan dosen. Ia dilahirkan di Sumenep, Madura, tanggal 24 juni 1946. Pendidikan yang dijalaninya adalah Fakultas Sastra UGM hingga sarjana muda (1965-1967), studi filsafat Barat di Fakultas Filsafat pada universitas yang sama hingga tingkat doktoral (1968-1971), studi antropologi di fakultas Sastra Universitas Padjajaran Bandung (tidak tamat, 1971-1973), dan terkahir meraih gelar doktor dari Universitas Sains Malaysia (1996). Ia pernah menjadi Redaktur Gema Mahasiswa (terbitan UGM, 1967-1969), redaktur Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat (1971-1973), redaktur pelaksanaan majalah Budaya Jaya (1978), redaktur kebudayaan Berita Buana (1978), anggota Dewan Kesenian Jakarta (1982), editor Balai Pustaka (1981-1983), dan dosen pada Universitas Sains Malaysia
      Tahun 1973/1974, Abdul Hadi WM mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS. Tahun 1974 ia juga mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda, dan Poetry Internasional di London, Inggris.
      Sajaknya,"Madura", mendapat pujian dari redaktur majalah Horison tahun 1968; kumpulan sajaknya, Meditasi (1976), mendapat Hadiah Buku Puisi Terbaik DKJ 1976/1977; tahun 1979 ia memperoleh Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI; dan tahun 1985 ia memperoleh Hadiah Sastra ASEAN.
       Kumpulan sajaknya yang lain adalah Laut Belum Pasang (1971), Cermin, (1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Tergantung Pada Angin (1977), dan Anak Laut Anak Angin (1983). Sajak-sajaknya (bersama sajak-sajak Darmanto Jt. dan Sutardji Calzoum Bachri) diterjemahkan kedalam bahasa inggris dan dimuat dalam Harry Aveling (ed.), Arjuna in Meditation (Calcutta, 1976). Karyanya yang lain: Sastra sufi: Sebuah Antologi (ed., 1985), dan Kembali Ke Akar Kembali Ke Sumber (kumpulan esai, 1999).
      Selain itu, Abdul Hadi WM banyak menerjemahkan karya-karya mancanegara. Beberapa di antara terjemahannya: Rumi: Sufi dan Penyair (1985), Pesan dari Timur (kumpulan sajak Mohamad Iqbal, 1985), Kumpulan Sajak Iqbal: Pesan kepada Bangsa-Bangsa Timur (1985), dan Kehancuran dan: Kebangunan : Kumpulan Puisi Jepang (1987).

D. ZAWAWI IMRON

Penulis ini lahir di Batang-Batang, Sumenep (Madura), 19 September 1946, adalah Ketua Bidang Sastra Lembaga Kesenian Sumenep dan guru Agama. Ia berpendidikan SD,Pesantren,dan PGA. Kumpulan sajaknya: Nenek Moyangku Airmata (1985) memenangi hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K tahun 1985. Kumpulan sajaknya yang lain: Semerbak Mayang (1977), Madura Akulah Lautmu (1978),Bulan Tertusuk Ilalang (1982), Celurit Emas (1986),Derap-Derap Tasbih (1992), Berlayar Di Pamor Badik (1994), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), dan Madura Akulah Darahmu (1999). Karyannya yang lain: Campak (1980), dan Bangsacara Ragapadmi (1980)

Lihat beberapa puisinya

SAPARDI DJOKO DAMONO

      Penulis ini lahir di Solo, tanggal 20 Maret 1940. Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra UGM (1964), kemudian memperdalam pengetahuan di Universitas Hawaii, Honolulu, AS (1970-1971), dan meraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia (1989). Ia pernah mengajar di IKIP Malang Cabang Madiun (1964-1968), Fakultas Sastra Universitas Diponogoro (1968-1974), dan sejak 1975 mengajar di fakultas Sastra UI. Sejak tahun 1994 menjadi guru besar pada Fakultas Sastra UI dan tahun 1996-1999 menjadi Dekan Fakultas Sastra UI. Ketua Umum Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Pusat (HISKI- selama dua periode). Pernah menjadi redaktur majalah Basis (1969-1975), redaktur majalah Horison (1973-1992), dan Tenggara (Kuala Lumpur, Malaysia). Pernah mengikuti Fesyival Penyair Internasional di Rotterdam (1976), Festival Seni di Adelaide, Australia (1978),dan Biennale Internasionale de Poezie XIII di Belgia (1979).
      Balladanya,"Ballada Matinya Seorang Pemberontak", mendapat Hadiah Pertama majalah Basis tahun 1963, kumpulan sajaknya, Sihir Hujan (1984), meraih Hadiah Pertama Hadiah Puisi II Malaysia 1983, dan kumpulan sajaknya yang lain, Perahu Kertas (1983), menggondol Hadiah Sastra DKJ 1983. Karyanya yang lain: DukaMu Abadi (kumpulan sajak, 1969), Mata Pisau (kumpilan sajak, 1974), Akuarium (kumpulan sajak, 1974), Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Indonesia Sebelum Perang (studi, 1979), Kesusastraan Indonesia Modern, Beberapa Catatan (kumpulan esai, 1983), Suddenly the Night (kumpulan sajak, 1988), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (kumpulan sajak, 1999), Politik Ideologi dan Sastra Hibrida (kumpulan esai, 1999), Sihir Rendra: Permainan makna (kumpulan esai, 1999), Ayat-ayat Api (kumpulan sajak, 2000), dan Ada Kabar Apa Harfi Ini, Den Sastro? (2002).
      Sapardi juga menulis cerpen. Salah satu buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit adalah Membunuh Orang Gila (2003).
      Selain itu, ia juga menjadi editor buku:  Tifa Budaya (bersama kasijanto,1981), Seni dalam Masyarakat Indonesia (bersama Edi Sedyawati, 1983), dan H.B. jassin 70 Tahun (1987).
      Sapardi Djoko Damono. juga banyak menerjemahkan. Terjemahannya: Lelaki Tua dan Laut (novel Hemingway, 1973), Puisi Brazillia Modern (kumpulan sajak, 1973), Daisy Manis (novel Henry James, 1975), Sepilihan Sajak George Seferis (kumpulan sajak, 1975), Puisi Klasik China (kumpulan sajak,1976), Lirik klasik Parsi (kumpulan sajak, 1977), Kisah-Kisah Sufi (karya idries Shah, 1986), dan Afrika yang Resah (karya Okot P'bitek, 1988).
      Tahun 1986 Sapardi Djoko Damono memperoleh Hadiah Sastra ASEAN dan tahun1990 menerima Hadiah Seni dari Pemerintah RI. Tahun 2003, Sapardi Djoko Damono memperoleh anugerah "Achmad Bakrie 2003". Ia dinilai telah memberi sumbangan besar kepada kebudayaan masyarakat modern di Indonesia.
 

PUISI SAINI KM




Nyanyian Tanah Air

Gunung-gunung perkasa, lembah-lmbah yang akan tinggal menganga
dalam hatiku. Tanah Airku, saya mengembara dalam bus dalam kereta
api yang bernyanyi. Tak habis-habisnya hasrat menyanjung dan memuja
engkau dalam laguku.
Bumi yang tahan dalam derita, sukmaku tinggal terpendam bawah puing-
puing, bawah darah kering di luka, pada denyut daging muda
Damaikan kiranya anak-anakmu yang dendam dan sakit hati,
ya Ibu yang parah dalam duka kasihku !
Kutatap setiap mata di stasiun, pada jendela-jendela terbuka kucari fajar
semangat yang pijar bernyala-nyala
surya esok hari, matahari sawah dan sungai kami
di langit yang bebas terbuka, langit burung-burung merpati.

Priangan

Disini tinggal bersama petani
Hati terbakar di dalam bumi
Sedang kali kehidupan
Berhulu dikubur leluhur.

Di sini lahir bangsa musafir
Berkawan lembah gunungmu
Jalan kenangan bersilang
Menjangkau dusun dan kota.

Disini hidupp bangsa penyair
Kekasih bulan purnama
Kecapi malam cendana mengukir
Semerbak lagu Cianjuran

RORO MENDUT

      Novel versi sejarah karya Y.B. Mangunwijaja dan Ajib Rosidi ini diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta, tahun 1983 (397 halaman). Novel ini merupakan transformasi dari karya sastra Jawa yang berasal dari peredaran lisan. Pada awalnya karya sastra ini dituturkan oleh Ki Patragune sekitar abad ke-18, kemudian ditulis dalam bentuk tembang pada zaman Kasunanan Surakarta, yang pada saat itu diperintah oleh Paku Buana V, dengan menggunakan huruf Jawa, sekitar tahun 1820-an. Naskah Roro Mendut ini kemudian diwariskan kepada Paku Buana VII. Baru kemudian tahun 1888 Mas Kartasubrata memperbaiki naskah tersebut, yang digunakan sebagai dasar penerbitan Balai Pustaka pada tahun 1921. Proses penurunan karya sastra terus berlangsung hingga zaman modern ini. Naskah Roro Mendut ini pernah diterjemahkan oleh Margosoelaksono. Kemudian ditransformasi kedalam bahasa Indonesia oleh Ajip Rosidi (versi Ajip Rosidi) dan Y.B. Mangunwijaya ini pernah difilmkan dan sebagai cerita bersambung dalam harian kompas.
      Kisah klasik Roro Mebdut tidak dicerita-ulangkan belaka oleh Y.B Mangunwijaya, tetapi dicipta baru dalam bentuk sastra dengan versi khas yang relevan untuk generasi modern sekarang. Tanpa meninggalkan pertanggungjawaban segi historisnya yang dilandaskan pada studi tentang BAbad Tanah Jawi,dokumen-dokumen duta besar,VOC,Rijkloff van Goens,dan data-data sejarah lain. Khususnya kaum wanita akan menemukan banayak hal yang berharga dalam novel ini mengenai filsafat keperawanan,keibuan,jodoh, dan emansipasi wanita. Namun bagi priapun novel ini memberi pintu banyak tentang pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai hidup,kebudayaan nasional,data-data sejarah,dan bagaimana lebih mengenal pasangan hidupnya,sang wanita. Novel ini mengandung filsafat hidu,sekaligus humor penuh hiburan segar.
      Diceritakan dalam novel ini bahwa Roro Mendut adalah anak seorang janda petani yang sederhana. Ia wanita yang sangat mencintai lautan. Bersama pamannya dan seorang pemuda sebayanya, semalam suntuk mereka harus bergulat melawan angin dan gelombang-gelombang. Si Duyung,begitu Roro Mendut dipanggil, selalu pulang dari laut berkayuh dengan gesit. Ia memiliki kecerdasan yang mencerminkan pigur Srikandi khas Bahari.
      Suatu ketika sepasukan serdadu berkuda dengan panji-panjinya datang ke Telukcikal, tempat roro Mendut. Ternyata panji-panji Adipati pragono, adipati wilayah Pathi yang didesas-desuskan mau memberontak melawan raja Mataram. Seorang perwira yang mewakili adipati menyampaikan bahwa Sang Keris Penguasa wilayah Pathi telah berkenan kepada Roro Mendut. Akhirnya Roro Mendut dibawa ke istana Adipati Pragono. Pada waktu itu, setiap gadis akan merasa di surga bila terpilih menjadi selir. Roro Mendut yang sudah terbiasa bebas dan hidup apa adanya memberontak melawan keadaan sehingga ia diserahkan kepada Ni Semongko untuk belajar tata krama kesopanan. Ia juga diberikan seorang dayang cilik yang bernama Gendhuk Duku, dengan harapan sifat keras Roro Mendut dapat disalurkan pada tempatnya. Sementara itu Adipati Pragono sibuk mempertahankan kemerdekaan Pathi melawan Susuhunan Binanthoro (dianggap sebagai dewa). Hanyokro Kusumo, Adipati Pragono akan berhadapan dengan wakil dari Matahari yaitu panglima Wiroguno.
      Dalam peperangan melawan tentara Wiroguno, Pragolo tewas, daerah Pathi dibakar habis dan disirami mantra-mantra kutukan. Kekalahan Pragolo berarti pula pemboyongan para wanita istana ke kerajaan yang sedang jaya, termasuk Roro Mendut dan dayangnya.
      Tumenggung Wiroguno sudah lanjut usia,tetapi termasyur akan kegagalan akan kebudimanannya. Ia pengabdi negara yang berjasa. Ia memiliki banyak selir yang cantik. Ia sangat mencintai semua selirnya. Akan tetapi, Wiroguno akan lebih tertarik dengan wanita yang menentangnya atau menolaknya. Wanita itu adalah Roro Mendut. Wiroguno memohon kepada Susuhunan hendak memiliki Roro Mendut.
      Nyai Ageng sebagai isteri perdana Wiroguno, belum memeriksa siapa saja putri yang diboyong dari Pathi. Namun, dari desas-desus ia telah mengetahui tentang seorang dara bernama Mendut. Nyai Ageng berusaha agar Roro Mendut tidak menjadi wanita perdana. Nyai Ageng dan para selir berusaha mempengaruhi Wiroguno untuk mengendalikan Roro Mendut ke daerah asalnya, sementara Roro Mendut ingin menentukan sendiri jalan hidupnya termasuk memiliki pasangan hidup.
      Mengetahui Mendut menolak menjadi selir Wiroguno, Nyai Ageng bersimpati kepada Mendut. Nyai Ageng ingin menolong Roro Mendut, tetapi juga ingin membantu derajat atau martabat suaminya.
      Penolakan Roro Mendut membuat wiroguno marah. Roro Mendut dihukum dengan membayar pajak tiga real setiap hari. Untuk memenuhi pajak ini Roro Mendut dibantu oleh dayangnya yang menjual puntung-puntung rokok di pasar, sementara itu nyai Ageng dengan tulus memberi bantuan modal kepada Roro Mendut untuk berusaha. Berkat ketabahannya, Roro Mendut mampu membayar pajak atau upeti kepada Wiroguno. Dan hal ini membuat Wiroguno marah dan menambah pajak menjadi sepuluh real perhari.
      Saat berjualan puntung rokok di pasar, Roro Mendut bertemu dengan Pronocitro, putra janda pengusaha kapal dari pekalongan (Nyai Singobarong). Mereka saling tertarik, saling mengasihi, dan menyusun rencana melarikan Mendut dari puri Wiroguno.
      Dengan menyamar, Pronocitro melamar pekerjaan di puri Wiroguno, dan diterima di bagian kandang kuda para puri. Segala akal dan rencana Pronocitro membebaskan Roro Mendut diketahui oleh Nyai Ageng, dan ia diam-diam memberi kesempatan, hingga suatu hari Pronocitro dan Roro Mendut melarikan diri.
      Ketika mereka tertangkap, rakyat menjadi saksi saat mereka membuat perhitungan. Wiroguno masih memberikan kesempatan kepada Roro Mendut untuk memilih. Roro Mendut tegas memilih Pronocitro. Akan tetapi, saat terjadi perkelahian antara Wiroguno Pronocitro, Pronocitro terluka. Untuk melindungi kekasihnya, ketika untuk kedua kali Wiroguno menghujamkan kerisnya, Roro Mendut spontan membela Pronocitro. Tanpa sengaja keris Wiroguno menusuk jantung Mendut yang rebah diatas kekasihnya.  Roro Mendut mati membela kebenaran dan keyakinannya. Seluruh rakyat menjadi saksi,Roro Mendut dan Pronocitro disambut gelombang-gelombang laut dan dihela menjauh dari pantai.
     

PUISI W. S RENDRA



KELELAWAR

Silau oleh sinar lampu lalulintas
Aku menunduk memandang sepatuku.
Aku gentayangan bagai kelelawar.
Tidak gembira, tidak sedih.
Terapung dalam waktu.
Ma, aku melihatmu di setiap ujung jalan.
Sungguh tidak menyangka
Begitu penuh kamu mengisi buku alamat batinku.
Sekarang aku kembali berjalan.
Apakah aku akan menelefon teman?
Apakah aku akan makan udang gapit di restoran?
Aku sebel terhadap cendikiawan yang menolak menjadi saksi.
Masalah sosial dipoles gincu menjadi ######fizika.
Sikap jiwa dianggap maya dibanding mobil berlapis baja.
Hanya kamu yang enak diajak bicara.
Kakiku melangkah melewati sampah-sampah.
Akan menulis sajak-sajak lagi.
Rasa berdaya tidak bisa mati begitu saja.
Ke sini, Ma, masuklah ke dalam saku bajuku.
Daya hidup menjadi kamu, menjadi harapan.

PAMAN DOBLANG

Paman Doblang! Paman Doblang!
Mereka masukkan kamu ke dalam sel yang gelap.
Tanpa lampu. Tanpa lubang cahaya. Pengap.
Ada hawa. Tak ada angkasa.
Terkucil. Temanmu beratus-ratus nyamuk semata.
Terkunci. Tak tahu di mana berada.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Apa katamu?
Ketika haus aku minum dari kaleng karatan.
Sambil bersila aku mengharungi waktu
lepas dari jam, hari dan bulan
Aku dipeluk oleh wibawa tidak berbentuk
tidak berupa, tidak bernama.
Aku istirah di sini.
Tenaga ghaib memupuk jiwaku.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Di setiap jalan mengadang mastodon dan serigala.
Kamu terkurung dalam lingkaran.
Para pengeran meludahi kamu dari kereta kencana.
Kaki kamu dirantai ke batang karang.
Kamu dikutuk dan disalahkan.
Tanpa pengadilan.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Bubur di piring timah
didorong dengan kaki ke depanmu
Paman Doblang, apa katamu?
Kesedaran adalah matahari.
Kesabaran adalah bumi.
Keberanian menjadi cakerawala.
Dan perjuangan
adalah perlaksanaan kata-kata.

PUISI D. ZAWAWI IMRON



SAJAK GAMANG



dibiarkannya orang-orang merangkak

selarat kerbau menarik bajak

dibiarkannya cacing yang tak punya kuasa



kalau anak-anak menyanyi tentang daun-daun hijau

bagus, karena bapaknya parau bagai harimau

musik dan gamelan kadang bikin gamang

sungai dan hutan jangan diurus kancil atau siamang





DOA I



bila kau tampakkan secercah cahaya di senyap malam

rusuh dan gemuruh mengharu biru seluruh tubuh

membangkitkan gelombang lautan rindu

menggebu menyala

dan lagu-Mu yang gemuruh

menyangkarku dalam garden-Mu



biarkan aku menari dalam lagu-Mu

gila lestari melimbang badan

ah, hatiku tertindas gatal dan pedih

meski nikmat semakin erat memelukku



aku meronta dalam kutuk-Mu

duhai, naung kasih-Mu melambai tangan



sekali lagi kau kilatkan cahaya di tengah malam

aku silau, hanya tangan yang menggerapai

golang golek tubuhku dalam yakin

ah, kegilaan begitu mesra

tangis bahagia yang bersimbah di raut jiwa

menggermang nyala bulu-bulu seluruh tubuh

terbisik di hati puji syukur memanjat rindu



PUISI SONI FARID MAULANA



NARASI DI BAWAH HUJAN

hujan, curahkan berkahmu yang hijau
pada lembah hatiku

puaskan dahaga tumbuhan,
hingga jiwaku terasa segar membajak kehidupan.

di pinggir jendela aku ingat benar tahun lalu
aku masih kanak, bersenda gurau, bernyanyi riang,

memutar-mutar payung hitam di bawah curahmu;
yang berkilauan agai perak disentuh matahari.

o, hujan. Puaskan dahaga jiwaku
agar hidupku menyeruak bagai tumbuhan

menjemput Cahaya Maha Cahaya

            1984 – 1989


SAAT HUJAN JATUH

sudah biasa
aku mendengar simfoni rindu
sehabis hujan
di halaman

memetik daun-daun
berdering dan pecah
di atas batu

esoknya adalah fajar
mengekalkan kicau burung
lalu sisa embun di dahan

berkemas, membumbung
ke dalam baris sajak-sajakku
yang sarat cinta
semekar mawarNya

            1983

SENANDUNG KECIL

      Kumpilan sajak Iriani R. Tandi, diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jambi, tahun 2000. Dalam kumpulan ini Iriani R. Tandi lebih banyak mengungkapkan persoalan-persoalan sosial dan kemanusiaan. Ia juga berbicara dalam sajak-sajaknya tentang diskriminasi, dunia anak-anak, manusia yang tertindas, nasib negeri yang dicintainya, dan keagungan Tuhan. Persoalan-persoalan tersebut digantungkannya melalui motif-motif antara lain: cinta atau kasih sayang, harapan, kesabaran, kerinduan, kegeliusahan, cemburu, kesedihan, ketakutan, perasaan yang terpendam (refraksi), dan penderitaan-penderitaan.  Motif-motif ini sangat berperan dalam memperlihatkan kompleksitas persoalan dalam sajak-sajaknya.
      Persoalan-persoalan dalam sajak-sajak Iriani R. Tandi tersaji dalam spontan dan orisinal, nilai-nilai dalam sajak itu mengalir dengan nuansa-nuansa keperempuanan; metafor-metafor feministik  dalam kumpulan sajak Senandung Kecil ini terasa sangat kental.
      Buku puisi ini memuat 36 judul sajak: Catatan Harian, Tahun Pertama Nyonya Muda,; Hidup; Maut; Kupu-kupu Musuh Bunga; Senandung Kecil, pada Anak-anakku; Surat Kilat Buat Bekas Seorang Napi; Lagu Kenangan Gadis Kecilku; Senandung Kecil Pada Anak-anakku, Kedua; Kepompong Cinta Ibu; Seumur Ayah,Seumur Ibu; Senandung Kecil pada Anak-anakku, Ketiga; Belajar;Doa Rumput; Lagu Perempuan Pahlawan; Kalbu Hujan Di Emperan Toko; Undangan Hari Senja Nenek; Chung Kuok Zen, Ingni Zen, Zen; Di Jendela, Tempatku Memandang; Surat yang ku layangkan ke DSurga; Seberkas Cahaya; Membaca Hari Esok; Di beranda yang Tak Berangin; Tragedi Sepasang Sepatu Banci; Percakapan pada Lansia; Doa Ibu, Untukmu; Cinta Di Museum Kalbu; Sebuah Nama Dalam Imajinasi; Dua Muara; Nyanyian Ilalang; Permata Hati I; Permata Hati II;Surat Semu untuk Seorang Murid SDLB; Tembang Kehidupan; Hari Ungu Di Negeriku; Dunia, Aku dan Sajak; dan Simpul Benang Merah.

Kelelawar (W.S Rendra)

Silau oleh sinar lampu lalulintas
Aku menunduk memandang sepatuku.
Aku gentayangan bagai kelelawar.
Tidak gembira, tidak sedih.
Terapung dalam waktu.
Ma, aku melihatmu di setiap ujung jalan.
Sungguh tidak menyangka
Begitu penuh kamu mengisi buku alamat batinku.
Sekarang aku kembali berjalan.
Apakah aku akan menelefon teman?
Apakah aku akan makan udang gapit di restoran?
Aku sebel terhadap cendikiawan yang menolak menjadi saksi.
Masalah sosial dipoles gincu menjadi ######fizika.
Sikap jiwa dianggap maya dibanding mobil berlapis baja.
Hanya kamu yang enak diajak bicara.
Kakiku melangkah melewati sampah-sampah.
Akan menulis sajak-sajak lagi.
Rasa berdaya tidak bisa mati begitu saja.
Ke sini, Ma, masuklah ke dalam saku bajuku.
Daya hidup menjadi kamu, menjadi harapan.

Sajak Telur (Sapardi Djoko Damono)


dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung

semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin

memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai

merindukan telur

Perahu Kertas,

Kumpulan Sajak,

1982.

PUISI JOKO PINURBO

Cinta Telah Tiba
untuk eka dan ratih

cinta telah tiba
sebelum kulihat parasnya
di musim semi wajahmu

telah menjadi kita dan kata
saat kucicipi hangatnya
di kuncup rekah bibirmu

kian dalam dan tak terduga
saat kuarungi arusnya
di laut kecil matamu

(2006)

CANTING

      Canting adalah judul novel karya Arswendo Atmowiloto. Novel ini diterbitkan oleh Penerbit Gramedia, tahun 1986. Cerita novel ini mengenai pengabdian seorang wanita Jawa kepada suami dan seluruh keluarganya. Selain itu juga menceritakan perjuangannya untuk membantu usaha suaminya. Sekalipun tokoh cerita ini sibuk dengan kegiatan usahanya, ia tidak pernah melalaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu rumah tangga. Di samping kedua hal itu, novel ini juga mengajukan masalah persaingan dalam bisnis batik tradisional dengan produk batik produksi pabrik modern yang canggih.
      Latar cerita novel ini adalah kehidupan masyarakat Jawa Tengah, khususnya Solo, dengan segala macam adat istiadat, tata krama, serta pernak-pernik bisnis kain batik khas Jawa.
      Tokoh-tokoh novel ini adalah Ngabehi Setrokusumo, keturunan bangsawan keraton.ia seorang priyayi  dan juga kepala keluarga yang bijak, baik, serta sangat dihormati. Dia seorag pengusaha batik tradisional merk Canting di Solo; Tuginem; seorang perempuan yang tegar, sabar, dan bijak, penuh tanggung jawag dan penuh pengabdian terhadap suami dan anak-anaknya. Sebelumnya, Tuginem hanyalah buruh pabrik batik. Dia menikah dengan pemilik pabrik batik tradisional tempat dia bekerja, yaitu Raden Ngabehi Setrokusumo. Setelah menikah dengan priyayi tersebut, namanya menjadi Bu Bei. Dialah yang kemudian mengurus usaha batik tradisional milik suaminya dengan sukses. Dia merupakan seorang wanita karier yang sukses.
      Raden Ngabehi Setrokusumo adalah pengusaha batik di Solo. Batik yang diproduksinya bermerk Canting. Ia tiba-tiba menjadi geger keluarganya. Sebagai keturunan keraton, kaya, dihormati dan disegani, ia memutuskan untuk menikahi wanita yang bukan dari keluarga keraton. Wanita itu bernama Tuginem, buruh pabrik tradisional miliknya. Tuginem hanyalah seorang buruh pabrik yang miskin dan bukan berasal dari kalangan priyayi, maka pernikahan mereka banyak mendapat tantangan dari keluarga besar Raden Ngabehi Setrokusumo. Walaupun demikian, pernikahan itu tetap dilangsungkan.
      Rumah tangga Raden Ngabehi Setrokusumo dan Tuginem sangat romantis. Tuginem yang merasa mendapat anugrah dari Tuhan Yang Mahakuasa benar-benar mengabdikan dirinya kepada suaminya. Setelah menikah, ia dipanggil dengan nama Ibu Bei. Secara diam-diam, Ibu Bei membantu usaha batik yang didirikan oleh suaminya. Berkat kerja kerasnya, usaha batik mereka bermerk Canting berkembang pesat.
      Kehidupan Bu Bei berubah sedemikian rupa. Ia menjadi sosok wanita karir. Akan tetapi, ia tidak meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Dia tetap melayani suami dan semua anaknya dengan baik. Keenam anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang membanggakan. Wahyu Deabrata menjadi dokter, Ismaya Dewakusuma menjadi insinyur, Waning Dewamurni menjadi dokter yang kemudian menjadi kontraktor yang sukses, sedangkan yang bungsu Subandini Dewaputri menjadi sarjana farmasi. Semakin lama kekuatan Ibu Bei dalam mengurus usaha batiknya dan mengurus rumah tangganya semakin berkurang. kelincahannya dalam menangani para pedagang di pasar Klewer Solo, tempat ia menjajakan batik Cantingnya mulai menurun. Apalagi batik tradisional Canting mereka mendapat saingan berat dari produk pabrik besar dan modern.
      Hal ini disadari oleh putra bungsu Bu Bei. Subandini Dewaputri itu tergugah hatinya untuk mengambil alih usaha itu. Ia tidak rela jika usaha keluarganya hancur begitu saja. Dia ingin membangkitkan lagi usaha keluargannya. Namun, niatnya ditentang oleh kakaknya. Terjadi perselisihan diantara mereka. Perselisihan mereka dapat diselesaikan oleh Raden Ngabehi Setrokusumo dengan bijaksana. Ibu Bei pun meninggal dunia. 
      Usaha batik itu diambil alih oleh Bandini atau Ni. Dengan penuh semangat, ia berusaha bersaing dengan batik-batik dari pabrik-pabrik besar. Ia kalah bersaing. Penjualan batik mereka semakin merosot. Dia frustasi dan jatuh sakit. Bahkan, ia hampir meninggal dunia karena sakitnya yag sagat parah. Ketika sakit itulah, timbul kesadaran dalam dirinya. Dia mulai memahami mengapa usaha batiknya tak dapat bersaing dengan produk-produk keluaran pabrik. Salah satu penyebabnya adalah merk. Dengan keteguhan hatinya, Ni akhirnya memutuskan untuk mengubah merk Canting menjadi Canting Daryono. Dengan nama baru itu, Ni meneruskan usaha batik tradisional milik keluarganya.
      Keputusan mengubah nama Canting menjadi Canting Daryono itu sangat tepat. Usaha batik mereka, secara perlahan tetapi pasti mampu bersaing dipasaran. Ni tidak menangani usaha itu seorang diri, dia dibantu oleh kakak-kakaknya. Batik mereka mulai dikenal lagi, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga mulai dilirik oleh turis asing. Sungguh suatu kerja keras yang tiada henti. Mereka sekeluarga saling bahu-membahu menangani usaha itu.
      Ni menikah Dengan Hermawan. Pria pilihannya sendiri. Hermawan adalah pria yang sabar menunggu Ni, selama gadis itu menangani perusahaan keluarganya. Pesta perkawinan mereka diadakan tepat pada selamatan setahun meninggalnya Bu Bei.

search

About

Seluk Beluk Sastra